Makalah Kelompok V
TEORI KEBENARAN
Diajukan
Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas
Mata Kuliah : FILSAFAT ILMU
Dosen Pembina : Drs. Surya Sukti, MA
Disusun Oleh
Rahmiatun
Fitriyah Pramitasari
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM
NEGERI PALANGKARAYA
JURUSAN SYARI’AH PROGRAM
STUDI EKONOMI SYARI’AH
TAHUN
AJARAN 2013/1435 H
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Manusia selalu mencari kebenaran, jika manusia mengerti dan
memahami kebenaran, sifat asasinya terdorong pula untuk melaksanakan kebenaran
itu. Sebaliknya pengetahuan dan pemahaman tentang kebenran, tanpa melaksanakan konflik
kebenaran, manusia akan mengalami pertentangan batin, konflik spilogis. Karena
di dalam kehidupan manusia sesuatu yang dilakukan harus diiringi akan kebenaran
dalam jalan hidup yang dijalaninya dan manusia juga tidak akan bosan untuk
mencari kenyataan dalam hidupnya yang dimana selalu ditunjukkan oleh kebanaran.
Pendidikan pada umumnya dan ilmu pengetahuan pada khususnya
mengemban tugas utama untuk menemukan, pengembangan, menjelaskan, menyampaikan
nilai-nilai kebenaran. Semua orang yang berhasrat untuk mencintai kebenaran,
bertindak sesuai dengan kebenaran. Kebenaran adalah satu nilai utama di dalam
kehidupan human. Sebagai nilai-nilai yang menjadi fungsi rohani manusia.
Artinya sifat manusiawi atau martabat kemanusiaan (human dignity) selalu berusaha
“memeluk” suatu kebenaran.
Kebenaran
sebagai ruang lingkup dan obyek pikir manusia sudah lama menjadi penyelidikan
manusia. Manusia sepanjang sejarah kebudayaannya menyelidiki secara terus
menerus apakah hakekat kebenaran itu?
Jika manusia mengerti dan memahami kebenaran, sifat asasinya
terdorong pula untuk melaksanakan kebenaran itu. Sebaliknya pengetahuan dan
pemahaman tentang kebenaran, tanpa melaksanakan kebenaran tersebut manusia akan
mengalami pertentangan batin, konflik spikologis. Menurut para ahli filsafat
itu bertingkat-tingkat bahkan tingkat-tingkat tersebut bersifat hirarkhis.
Kebenaran yang satu di bawah kebenaran yang lain tingkatan kualitasnya ada
kebenaran relatif, ada kebenaran mutlak (absolut). Ada kebenaran alami dan ada
pula kebenaran illahi, ada kebenaran khusus individual, ada pula kebenaran umum
universal.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa saja
dimensi-dimensi kebenaran?
2.
Sebutkan dan
jelaskan apa saja teori-teori kebenaran menurut filsafat?
3.
Apa hubungan
sains dan agama?
C.
Tujuan
Penulisan
1.
Memahami dan
menjelaskan dimensi-dimensi kebenaran.
2.
Memahami dan
menjelaskan teori-teori kebenaran menurut filsafat.
3.
Memahami dan
menjelaskan hubungan sains dan agama.
D.
Metode
Penulisan
Metode yang kami gunakan ini dalam pembuatan makalah dengan sederhana yaitu
dengan metode perpustakaan dan browsing di internet.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Dimensi-Dimensi
Kebenaran
Manusia selalu mencari kebenaran, jika manusia mengerti dan
memahami kebenaran, sifat asasinya terdorong pula untuk melaksanakan kebenaran
itu. Sebaliknya pengetahuan dan pemahaman tentang kebenaran, tanpa melaksanakan
konflik kebenaran, manusia akan mengalami pertentangan batin, konflik spilogis.
Karena di dalam kehidupan manusia sesuatu yang dilakukan harus diiringi akan
kebenaran dalam jalan hidup yang dijalaninya dan manusia juga tidak akan bosan
untuk mencari kenyataan dalam hidupnya yang dimana selalu ditunjukkan oleh
kebenaran. Hal kebenaran sesungguhnya memang merupakan tema sentral di dalam
filsafat ilmu. Secara umum orang merasa bahwa tujuan pengetahuan adalah untuk
mencapai kebenaran.[1]
Karena manusia memiliki perangkat berfikir yang
berlapis : dunia indera-akal dan hati maka dalam eksistensi berfikirnya manusia
mengalami berbagai lapisan pengalaman berfikir yang menunjukkan adanya berbagai
lapisan kebenaran yang ditangkap secara berbeda oleh berbagai peralatan
berfikir yang berbeda sehingga lahirlah pemahaman terhadap adanya berbagai
bentuk kebenaran : kebenaran yang tertangkap oleh dunia indera -kebenaran yang
tertangkap oleh akal dan kebenaran yang tertangkap oleh hati. Ada 3 dimensi
kebenaran yaitu:[2]
DIMENSI PERTAMA : kebenaran empirik
Adalah bentuk kebenaran yang berada pada
lapisan terluar yaitu bentuk kebenaran yang berasal dari dimensi yang bisa
manusia tangkap dengan kekuatan pengalaman dunia inderawinya, lahirlah
‘kebenaran empirik’ yaitu bentuk kebenaran yang pengalaman dunia indera bisa
menangkap dan memahaminya.
Tetapi apakah kebenaran hanya berhenti di
sebatas dimensi kebenaran empirik (?) … pasti tidak … sebab bila kebenaran
berhenti sebatas dimensi kebenaran empirik maka apa beda manusia dengan
binatang, sebab kambing, ayam, bebek, kera, ular dlsb. sebenarnya dengan
peralatan dunia inderanya bisa menangkap ‘kebenaran empirik’ walau dengan
indera yang lebih terbatas dari manusia
Sebab karena manusia memiliki akal dan hati
maka manusia mencari cari dan mempertanyakan logika - hakikat dan hikmat
(makna) dibalik dari segala suatu yang kebenaran empiriknya telah mereka
tangkap-ketahui, dengan kata lain dengan peralatan abstraknya manusia
mempertanyakan ‘yang bersifat abstrak dibalik yang empirik-lahiriah’
Contoh sederhana, bila manusia menangkap
keberadaan api maka dengan peralatan abstrak yang ada dalam dirinya (akal-hati
nya) mereka akan berfikir : apa saja kegunaan dari api (?) …… dan yang lebih
dalam lagi mungkin mulai memikirkan apa hakikat - hikmat dari diciptakannya api
(?) .. atau bila
dengan dunia inderanya manusia menangkap beragam realitas kehidupan maka
peralatan abstraknya mulai menyelidik perihal hakikat dan hikmat adanya
kehidupan …
Apakah ‘kebenaran empirik’ adalah kebenaran tertinggi
yang bersifat hakiki (?) … jawabnya adalah : pasti bukan … bila kebenaran
empirik adalah bentuk kebenaran tertinggi maka baik manusia maupun kera masih
sama sama bisa menangkapnya,baik orang yang paling bijak dengan orang yang
paling awam sekalipun masih sama sama bisa menangkapnya karena urusan dunia
indera tidak yang berilmu atau yang tak berilmu semua pasti memilikinya
DIMENSI KEDUA : kebenaran rasional
Bila di urut secara gradual adalah dimensi yang
lebih tinggi ketimbang derajat kebenaran empirik sebab didalam perumusannya
telah melibatkan akal fikiran suatu yang tentu tidak dimiliki oleh binatang
binatang.
Sebagai contoh : manusia telah bisa menangkap
kebenaran empirik wujud alam semesta yang tertata semisal adanya perputaran
antara siang-malam yang teratur,adanya wujud fisik manusia dan berbagai
binatang yang sedemikian tertata nya, maka dibalik semua itu akal akan bertanya
: apakah semua ini ada sang desainernya ataukah semua itu bisa terjadi secara
kebetulan (?)
Maka dari berbagai ekplorasi akal atas semua
realitas yang telah ditangkap dan difahami oleh dunia indera itu maka lahirlah
pemahaman terhadap konsep ‘kebenaran rasional’,misal, alam semesta serta
kehidupan di dalamnya yang mekanisme serta hukum hukum didalamnya bisa difahami
secara rasional
DIMENSI KETIGA : kebenaran hakiki
Adalah bentuk kebenaran tertinggi dan terdalam
ketika manusia mulai mencari serta menangkap adanya essensi dari segala suatu
yang telah ditangkap oleh dunia indera dan akal nya.
Bila dengan indera dan akalnya manusia
menangkap kebenaran yang nampak serba tak pasti - berubah ubah - ter kotak
kotak - parsialistik serta berbeda dan berlawanan antara satu dengan yang
lainnya maka pada tahap ini manusia mulai mencari cari kebenaran yang bersifat
pasti - mendasar-menyeluruh dan menyatu yaitu essensi atau hakikat dari segala
suatu
Kebenaran hakiki adalah bentuk kebenaran
terdalam yang dicari cari oleh batiniah manusia yang menginginkan bentuk kebenaran
yang bersifat pasti-mendasar dan tetap (tak berubah)
Dengan kata lain dunia indera menangkap bentuk
kebenaran empirik-akal menangkap kebenaran rasional : bentuk kebenaran
konstruktif-konseptualistik dan hati menangkap dan menghayati adanya bentuk
kebenaran hakiki
Apakah manusia bisa mulus melewati ke tiga
tahapan dimensi kebenaran ini untuk bermuara pada kebenaran yang bersifat
hakiki … ..jawabnya adalah : tidak (!)
Sebab nya adalah teramat banyak rintangan yang
tidak ringan bagi akal dan hati untuk menggapai muara dari kebenaran hakiki
yang bersifat abstrak itu
B.
Teori-Teori Kebenaran
Menurut Filsafat
1.
Teori
Korespondensi (The Correspondence Theory Of Truth)
Kebenaran atau keadaan benar itu berupa kesesuaian(correspondence)
antara arti yang di maksud oleh suatu pendapat dengan apa yang sungguh
merupakan halnya atau faktanya .[3] Teori
kebenaran yang didasarkan pada teori korespondensi, dimana penggagas utamanya
adalah Bernard Russell (1872-1970). Bagi penganut teori korespindensi ini, maka
suatu pernyataan dianggap benar bila materi pengetahuan yang dikandung
pernyataan tersebut saling berkesuaian dengan objek yang dituju oleh pernyataan
tersebut.[4]
Pengetahuan ini dikatakan benar apabila di
dalam kemanunggalan yang bersifat intrinsik, intensional, dan pasif-aktif
terdapat kesesuaian antara apa yang ada di dalam pengetahuan subjek dengan apa
yang ada di dalam objek. Hal itu karena puncak dari proses kognitif manusia
terdapat di dalam budi atau pikiran manusia (intelectus) maka pengetahuan
adalah benar bila apa yang terdapat di dalam budi pikiran subjek itu benar
sesuai dengan apa yang ada di dalam objek.[5]
Dengan demikian, kebenaran dapat
didefinisikan sebagai kesetiaan pada realitas objektif. Yaitu, suatu pernyataan
yang sesuai dengan fakta atau sesuatu yang selaras dengan situasi. Teori korespondensi ini pada umumnya dianut oleh para pengikut realisme.
Di antara pelopor teori korespondensi ini adalah Plato, Aristoteles, Moore,
Russel, Ramsey, dan Tarski.[6]
Mengenai teori korespondensi tentang kebenaran dapat disimpulkan
sebagai berikut: Kita mengenal 2 hal, yaitu pertama, pernyataan dan
kedua, kenyataan. Menurut teori ini kebenaran adalah kesesuaian antara
pernyataan dengan kenyataan dengan sesuatu itu sendiri.[7]
Sebagaimana contoh dapat dikemukakan: “Tugu Monas ada di kota Jakarta” maka
pernyataan tersebut adalah benar sebab pernyataan itu dengan objek yang bersifat faktual yakni
Jakarta yang memang tempat berdirinya monumen tugu monas. Apabila ada orang
yang mengatakan bahwa “Tugu Monas di Semarang” maka pernyataan itu tidak benar
sebab tidak terdapat objek yang sesuai dengan pernyataan itu. Dengan demikian
secara faktual “Tugu Monas adadi Jakarta bukan di Semarang.[8]
2.
Teori Koherensi
(The Consistence Theory Of Truth)
Teori
kebenaran yang didasarkan pada teori koherensi, suatu proposisi (pernyataan)
dianggap benar bilamana pernyataan tersebut bersifat koheren atau saling
berhubungan dengan pernyataan-pernyataan sebelumnya yang dianggap benar.[9]
Kepastian
mengenai kebenaran sekurang-kurangnya memiliki 4 pengertian, dimana suatu
keyakinan tidak dapat diragukan kebenarannya, sehingga disebut pengetahuan. Pertama,
pengertian yang bersifat psikologis. Kedua, pengertian yang bersifat
logis. Ketiga, menyamakan kepastian dengan keyakinan yang tidak dapat
dikoreksi. Keempat, pengertian
akan kepastian yang digunakan dalam pembicaraan umum, dimana hal itu diartikan
sebagai kepastian yang didasarkan pada nalar yang tidak dapat
diragukan atau dianggap salah. Jadi menurut teori ini, putusan yang satu dengan
yang lainnya saling berhubungan dan saling menerangkan satu sama lainnya.
Apabila teori korespondensi dianut oleh
penganut realisme dan materialisme, teori konsistensi atau koherensi ini
berkembang pada abad ke-19 dibawah pengaruh Hegel dan diikuti oleh mazhab
idealisme. Seperti filsuf Britania F. M Bradley (1864-1924).[10]
Mengenai
teori konsisteri ini dapatlah kita simpulkan sebagai berikut: Pertama, kebenaran
menurut teori ini ialah kesesuaian antara suatu pernyataan dengan pernyataan
lainnya yang sudah lebih dulu kita ketahui, terima dan akui sebagai benar. Kedua,
teori ini agaknya dapat dinamakan teori penyaksian tentang kebenaran, karena
menurut teori ini satu putusan dianggap benar apabila mendapat
penyaksian-penyaksian oleh putusan lainnya yang terdahulu yang sudah diketahui
diterima dan diakui sebenarnya.[11]
Bila
kita menganggap bahwa “semua makhluk hidup pasti akan mati” adalah pernyataan
yang benar, maka pernyataan bahwa “pohon kelapa adalah makhluk hidup dan pohon
kelapa pasti akan mati” adalah benar pula, sebab pernyataan kedua konsisiten
dengan pernyataan yang pertama.[12]
Diantara
bentuk pengetahuan yang penyusunannya dan pembuktiannya didasarkan pada teori
koherensi adalah ilmu Matematika dan turunannya. Matematika disusun pada
beberapa dasar pernyataan yang dianggap benar, yaitu aksioma. Dengan menggunakan
beberapa aksioma maka disusun suatu teorema. Di atas teorema dikembangkan
kaidah-kaidah matematika yang secata keseluruhan merupakan suatu sistem yang
konsisten. Contoh, 3 + 3 = 6 adalah
benar karena sesuai dengan kebenaran yang sudah disepakati bersama, terutama
dalam komunitas matematika. Jadi, ukuran kebenaran pada teori koherensi ini
adlah konsistensi dan presisi.[13]
3.
Teori
Pragmatisme (The Pragmatic Theory Of Truth)
Teori
kebenaran yang didasarkan pada teori pragmatisme, teori ini yang dicetuskan
oleh Peirce (1839-1914) dalam sebuah makalah yang terbit pada tahun 1878 yang
berjudul “how to make our dear”. Bagi orang yang menganut teori
pragmatisme ini menyatakan bahwa kebenaran suatu pernyataan diukur dengan
kriteria apakah pernyataan tersebut bersifat fungsional dalam kehidupan
praktis. Artinya suatu pernyataan dikatakan benar, jika pernyataan tersebut
mempunyai kegunaan praktis dalam kehidupan manusia.[14]
Teori,
hipotesa atau ide adalah benar apabila dia membawa kepada akibat yang
memuaskan, apabila ia berlaku dalam praktik, apabila ia mempunyai nilai
praktis. Menurut William James “ide-ide yang benar ialah ide-ide yang dapat
kita serasikan, kita umumkan berlakunya, kita kuatkan dan kita periksa.
Sebaliknya ide yang salah ialah ide yang tidak demikian”. Oleh sebab itu, tidak
ada kebenaran mutlak, yang ada adalah kebenaran-kebenaran, yaitu apa yang benar
dalam pengalaman-pengalaman khusus.[15]
Masalahnya
sekarang ialah apa yang dimaksud dengan “hasil yang memuaskan” (satisfactory
result) itu. Antara lain dikemukakan oleh penganutnya:
1.
Sesuatu itu
benar apabila memuaskan keinginan dan tujuan manusia.
2.
Sesuatu itu
benar apabila dapat diuji benar dengan eksperimen.
3.
Sesuatu itu
benar apabila ia mendorong atau membantu perjuangan biologis untuk tetap ada.
Dalam sains dunia, suatu ilmu itu
bermanfaat apa tidak bagi kehidupan manusia sehari-hari. Ilmu botani benar bagi
para petani karena mendatangkan manfaat, tetapi belum tentu bagi pedagang
karena ia tidak perlu ilmu botani. Yang diperlukan adalah matematika. Ilmu
perbintangan itu bermanfaat bagi nelayan karena dapat memberi petunjuk arah dan
keadaan cuaca pada saat dia sedang mengarungi lautan luas. [16]
C.
Hubungan Sains
dan Agama[17]
Dalam
pandangan saintis sekuler, agama dan sains memiliki perbedaan yang sangat jauh
dan sukar ditemukan. Bidang kajian agama adalah alam metafisik, sedangkan alam
kajian sains dari alam. Pendekatan agama deduktif emosional, sedangkan sains
induktif rasional. Agama bersifat subjektif, sedangkan sains bersifat objektif.
Ukuram agama adalah mukmin atau kafir, sedangkan sains benar atau salah.
Anggapan para saintis demikian menunjukan bahwa titik singgung antara agama dan
sains hampir tidak ada. Dan kalau ada itu pun terletak pada hal yang umum
sekali, yaitu subjeknya sama-sama manusia.
Dari
segi tujuan, agama berfungsi membimbing umat manusia agar hidup tenang dan
bahagia di dunia dan di akhirat. Kebahagiaan di dunia menurut agama, adalah
prasyarat untuk mencapai kebahagiaan di akhirat. Sains adalah salah satu sarana
untuk membahagiakan dam mempermudah aktivitas manusia di dunia.
Pelaku
kegiatan sains dan agama adalah sama-sama manusia. Agama dan sains sama-sama
mengakui bahwa manusia maakhluk tertinggi tingkatannya dibandingkan makhluk
lainnya. Dalam konsep islam, manusia dianggap sebagai khalifah di muka bumi,
yakni pengganti Allah untuk menjaga
bumi.
Dalam
beberapa agama dan sains sebenarnya saling membutuhkan. Agama membutuhkan
penjelasan sains fakta-fakta yang ada di alam, sebagaimana termaktub dalam
Kitab Suci. Al quran menegaskan agar selalu meneliti peredaran peredaran
planet-planet dan meneliti kejadian bumi dan di langit. Sebaliknya, ilmu
membutuhkan agama dalam membrikan dasar moral bagi penerapan dan kegunaan sains
tersebut bagi kehidupan umat manusia dan lingkungannya. Keterjalinan agama dan
sains inilah yang akan merupakan kunci kesuksesan dan kebahagian di dunia.
Manusia
yang terdiri atas 2 unsur, yaitu jasmani dan rohani secara otomatis kedua unsur
itu memiliki kebutuhan-kebutuhan sendiri. Kebutuhan jasmani dipenuhi oleh sains
dan teknologi, sementara kebutuhan rohani dipenuhi oleh agama dan moralitas.
Apabila 2 macam kebutuhan itu dipenuhi menurut agama, dia akan berbahagia di
dunia dan di akhirat. Maka agama menekankan bahwa kebahagian rohani lebih
penting dan bernilai daripada kebahagiaan materi. Kebahagiaan materi menurut
agama, bersifat sementara dan akan hancur, sedangkan kebahagiaan rohani
bersifat abadi.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Karena manusia memiliki perangkat berfikir yang
berlapis: dunia indera-akal dan hati maka dalam eksistensi berfikirnya manusia
mengalami berbagai lapisan pengalaman berfikir yang menunjukkan adanya berbagai
lapisan kebenaran yang ditangkap secara berbeda oleh berbagai peralatan
berfikir yang berbeda sehingga lahirlah pemahaman terhadap adanya berbagai
bentuk kebenaran: kebenaran yang tertangkap oleh dunia indera -kebenaran yang
tertangkap oleh akal dan kebenaran yang tertangkap oleh hati.
Teori-teori kebenaran menurut filsafat ada 3
yaitu:
1.
Teori
Korespondensi (The Correspondence Theory Of Truth): Teori kebenaran yang
didasarkan pada teori korespondensi, dimana penggagas utamanya adalah Bernard
Russell (1872-1970). Bagi penganut teori korespindensi ini, maka suatu
penrnyataan dianggap benar bila materi pengetahuan yang dikandung pernyataan
tersebut saling berkesuaian dengan objek yang dituju oleh pernyataan tersebut.
2.
Teori Koherensi(The
Consistence Theory Of Truth): Teori kebenaran yang didasarkan pada teori
koherensi, suatu proposisi (pernyataan) dianggap benar bilamana pernyataan
tersebut bersifat koheren atau saling berhubungan dengan pernyataan-pernyataan
sebelumnya yang dianggap benar.
3. Teori kebenaran yang didasarkan pada teori pragmatisme, teori ini
yang dicetuskan oleh Peirce(1839-1914) dalam sebuah makalah yang terbit pada
tahun 1878 yang berjudul “how to make our dear”. Bagi orang yang
menganut teori pragmatisme ini menyatakan bahwa kebenaran suatu pernyataan
diukur dengan kriteria apakah pernyataan tersebut bersifat fungsional dalam
kehidupan praktis. Artinya suatu pernyataan dikatakan benar, jika pernyataan
tersebut mempunyai kegunaan praktis dalam kehidupan manusia.
Dalam beberapa agama dan sains sebenarnya saling membutuhkan. Agama
membutuhkan penjelasan sains fakta-fakta yang ada di alam, sebagaimana
termaktub dalam Kitab Suci. Al quran menegaskan agar selalu meneliti peredaran
peredaran planet-planet dan meneliti kejadian bumi dan di langit. Sebaliknya,
ilmu membutuhkan agama dalam membrikan dasar moral bagi penerapan dan kegunaan
sains tersebut bagi kehidupan umat manusia dan lingkungannya. Keterjalinan
agama dan sains inilah yang akan merupakan kunci kesuksesan dan kebahagian di
dunia.
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Ansari,
Saifuddin, (Ilmu Filsafat dan Agama), Surabaya : PT bina Ilmu Surabaya,
1987).
Bakhtiar, Amsal, (FILSAFAT
ILMU), Cet. 12, Jakarta: Rajawali Pers, 2013.
Bakhtiar, Amshal (FILSAFAT
AGAMA), Cet. 2, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2007.
Ihsan, Fuad, (FILSAFAT
ILMU), Cet. 1, Jakarta: Rineka Cipta, 2010.
Surajiyo, FILSAFAT ILMU DAN
PERKEMBANGANNYA DI INDONESIA(Jakarta, PT Bumi Aksara, 2010) .
Internet
http://filsafat.kompasiana.com/2013/08/21/tiga-lapisan-dimensi-kebenaran-582782.html (diunduh
tanggal 8 Maret 2014 pukul 9:56)
[1] Surajiyo,
FILSAFAT ILMU DAN PERKEMBANGANNYA DI INDONESIA(Jakarta, PT Bumi Aksara, 2010)
hal. 101
[2]
http://filsafat.kompasiana.com/2013/08/21/tiga-lapisan-dimensi-kebenaran-582782.html (diunduh tanggal 8 Maret
2014 pukul 9:56)
[3] Saifuddin
Ansari, Ilmu Filsafat dan Agama(surabaya : PT bina Ilmu Surabaya, 1987), hal.18
[4] Fuad Ihsan, (FILSAFAT
ILMU), Cet. 1, Jakarta: Rineka Cipta, 2010, Hal. 133.
[5] Amsal
Bakhtiar, (FILSAFAT ILMU), Cet. 12, Jakarta: Rajawali Pers, 2013, Hal.
112.
[6] Ibid, Hal.
113.
[7] Ibid, Hal. 115.
[8] Fuad Ihsan, (FILSAFAT...,
Hal. 134.
[9] Fuad Ihsan, (FILSAFAT
ILMU), Cet. 1, Jakarta: Rineka Cipta, 2010, Hal. 113.
[10] Amsal
Bakhtiar, (FILSAFAT ILMU), Cet. 12, Jakarta: Rajawali Pers, 2013, Hal.
116-117.
[11] Ibid, Hal.
117.
[12] Fuad Ihsan, (FILSAFAT...
[13] Amsal
Bakhtiar, (FILSAFAT ILMU), Cet. 12, Jakarta: Rajawali Pers, 2013, Hal.
118.
[14] Fuad Ihsan, (FILSAFAT
ILMU), Cet. 1, Jakarta: Rineka Cipta, 2010, Hal. 134.
[15] Amsal
Bakhtiar, (FILSAFAT..., Hal. 119.
[16] Amsal
Bakhtiar, (FILSAFAT ILMU), Cet. 12, Jakarta: Rajawali Pers, 2013, Hal.
120.
[17]Amshal
Bakhtiar, (FILSAFAT AGAMA), Cet. 2, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada,
2007. Hal. 225-262.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar