Kamis, 15 Mei 2014

filsafat ilmu

Makalah Kelompok V

TEORI KEBENARAN

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas
Mata Kuliah : FILSAFAT ILMU  
Dosen  Pembina : Drs. Surya Sukti, MA



Disusun Oleh
Rahmiatun
Fitriyah Pramitasari




SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI PALANGKARAYA
JURUSAN SYARI’AH PROGRAM STUDI EKONOMI SYARI’AH
TAHUN AJARAN 2013/1435 H 




















BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Manusia selalu mencari kebenaran, jika manusia mengerti dan memahami kebenaran, sifat asasinya terdorong pula untuk melaksanakan kebenaran itu. Sebaliknya pengetahuan dan pemahaman tentang kebenran, tanpa melaksanakan konflik kebenaran, manusia akan mengalami pertentangan batin, konflik spilogis. Karena di dalam kehidupan manusia sesuatu yang dilakukan harus diiringi akan kebenaran dalam jalan hidup yang dijalaninya dan manusia juga tidak akan bosan untuk mencari kenyataan dalam hidupnya yang dimana selalu ditunjukkan oleh kebanaran.
Pendidikan pada umumnya dan ilmu pengetahuan pada khususnya mengemban tugas utama untuk menemukan, pengembangan, menjelaskan, menyampaikan nilai-nilai kebenaran. Semua orang yang berhasrat untuk mencintai kebenaran, bertindak sesuai dengan kebenaran. Kebenaran adalah satu nilai utama di dalam kehidupan human. Sebagai nilai-nilai yang menjadi fungsi rohani manusia. Artinya sifat manusiawi atau martabat kemanusiaan (human dignity) selalu berusaha “memeluk” suatu kebenaran.
Kebenaran sebagai ruang lingkup dan obyek pikir manusia sudah lama menjadi penyelidikan manusia. Manusia sepanjang sejarah kebudayaannya menyelidiki secara terus menerus apakah hakekat kebenaran itu?
Jika manusia mengerti dan memahami kebenaran, sifat asasinya terdorong pula untuk melaksanakan kebenaran itu. Sebaliknya pengetahuan dan pemahaman tentang kebenaran, tanpa melaksanakan kebenaran tersebut manusia akan mengalami pertentangan batin, konflik spikologis. Menurut para ahli filsafat itu bertingkat-tingkat bahkan tingkat-tingkat tersebut bersifat hirarkhis. Kebenaran yang satu di bawah kebenaran yang lain tingkatan kualitasnya ada kebenaran relatif, ada kebenaran mutlak (absolut). Ada kebenaran alami dan ada pula kebenaran illahi, ada kebenaran khusus individual, ada pula kebenaran umum universal.
B.     Rumusan Masalah
1.      Apa saja dimensi-dimensi kebenaran?
2.      Sebutkan dan jelaskan apa saja teori-teori kebenaran menurut filsafat?
3.      Apa hubungan sains dan agama?

C.    Tujuan Penulisan
1.      Memahami dan menjelaskan dimensi-dimensi kebenaran.
2.      Memahami dan menjelaskan teori-teori kebenaran menurut filsafat.
3.      Memahami dan menjelaskan hubungan sains dan agama.
D.    Metode Penulisan
Metode yang kami gunakan ini dalam pembuatan makalah dengan sederhana yaitu dengan metode perpustakaan dan browsing di internet.











BAB II
PEMBAHASAN

A.    Dimensi-Dimensi Kebenaran

Manusia selalu mencari kebenaran, jika manusia mengerti dan memahami kebenaran, sifat asasinya terdorong pula untuk melaksanakan kebenaran itu. Sebaliknya pengetahuan dan pemahaman tentang kebenaran, tanpa melaksanakan konflik kebenaran, manusia akan mengalami pertentangan batin, konflik spilogis. Karena di dalam kehidupan manusia sesuatu yang dilakukan harus diiringi akan kebenaran dalam jalan hidup yang dijalaninya dan manusia juga tidak akan bosan untuk mencari kenyataan dalam hidupnya yang dimana selalu ditunjukkan oleh kebenaran. Hal kebenaran sesungguhnya memang merupakan tema sentral di dalam filsafat ilmu. Secara umum orang merasa bahwa tujuan pengetahuan adalah untuk mencapai kebenaran.[1]
Karena manusia memiliki perangkat berfikir yang berlapis : dunia indera-akal dan hati maka dalam eksistensi berfikirnya manusia mengalami berbagai lapisan pengalaman berfikir yang menunjukkan adanya berbagai lapisan kebenaran yang ditangkap secara berbeda oleh berbagai peralatan berfikir yang berbeda sehingga lahirlah pemahaman terhadap adanya berbagai bentuk kebenaran : kebenaran yang tertangkap oleh dunia indera -kebenaran yang tertangkap oleh akal dan kebenaran yang tertangkap oleh hati. Ada 3 dimensi kebenaran yaitu:[2]
DIMENSI PERTAMA : kebenaran empirik
Adalah bentuk kebenaran yang berada pada lapisan terluar yaitu bentuk kebenaran yang berasal dari dimensi yang bisa manusia tangkap dengan kekuatan pengalaman dunia inderawinya, lahirlah ‘kebenaran empirik’ yaitu bentuk kebenaran yang pengalaman dunia indera bisa menangkap dan memahaminya.
Tetapi apakah kebenaran hanya berhenti di sebatas dimensi kebenaran empirik (?) … pasti tidak … sebab bila kebenaran berhenti sebatas dimensi kebenaran empirik maka apa beda manusia dengan binatang, sebab kambing, ayam, bebek, kera, ular dlsb. sebenarnya dengan peralatan dunia inderanya bisa menangkap ‘kebenaran empirik’ walau dengan indera yang lebih terbatas dari manusia
Sebab karena manusia memiliki akal dan hati maka manusia mencari cari dan mempertanyakan logika - hakikat dan hikmat (makna) dibalik dari segala suatu yang kebenaran empiriknya telah mereka tangkap-ketahui, dengan kata lain dengan peralatan abstraknya manusia mempertanyakan ‘yang bersifat abstrak dibalik yang empirik-lahiriah’
Contoh sederhana, bila manusia menangkap keberadaan api maka dengan peralatan abstrak yang ada dalam dirinya (akal-hati nya) mereka akan berfikir : apa saja kegunaan dari api (?) …… dan yang lebih dalam lagi mungkin mulai memikirkan apa hakikat - hikmat dari diciptakannya api (?) .. atau bila dengan dunia inderanya manusia menangkap beragam realitas kehidupan maka peralatan abstraknya mulai menyelidik perihal hakikat dan hikmat adanya kehidupan …
Apakah ‘kebenaran empirik’ adalah kebenaran tertinggi yang bersifat hakiki (?) … jawabnya adalah : pasti bukan … bila kebenaran empirik adalah bentuk kebenaran tertinggi maka baik manusia maupun kera masih sama sama bisa menangkapnya,baik orang yang paling bijak dengan orang yang paling awam sekalipun masih sama sama bisa menangkapnya karena urusan dunia indera tidak yang berilmu atau yang tak berilmu semua pasti memilikinya
DIMENSI KEDUA : kebenaran rasional
Bila di urut secara gradual adalah dimensi yang lebih tinggi ketimbang derajat kebenaran empirik sebab didalam perumusannya telah melibatkan akal fikiran suatu yang tentu tidak dimiliki oleh binatang binatang.
Sebagai contoh : manusia telah bisa menangkap kebenaran empirik wujud alam semesta yang tertata semisal adanya perputaran antara siang-malam yang teratur,adanya wujud fisik manusia dan berbagai binatang yang sedemikian tertata nya, maka dibalik semua itu akal akan bertanya : apakah semua ini ada sang desainernya ataukah semua itu bisa terjadi secara kebetulan (?)
Maka dari berbagai ekplorasi akal atas semua realitas yang telah ditangkap dan difahami oleh dunia indera itu maka lahirlah pemahaman terhadap konsep ‘kebenaran rasional’,misal, alam semesta serta kehidupan di dalamnya yang mekanisme serta hukum hukum didalamnya bisa difahami secara rasional


DIMENSI KETIGA : kebenaran hakiki
Adalah bentuk kebenaran tertinggi dan terdalam ketika manusia mulai mencari serta menangkap adanya essensi dari segala suatu yang telah ditangkap oleh dunia indera dan akal nya.
Bila dengan indera dan akalnya manusia menangkap kebenaran yang nampak serba tak pasti - berubah ubah - ter kotak kotak - parsialistik serta berbeda dan berlawanan antara satu dengan yang lainnya maka pada tahap ini manusia mulai mencari cari kebenaran yang bersifat pasti - mendasar-menyeluruh dan menyatu yaitu essensi atau hakikat dari segala suatu
Kebenaran hakiki adalah bentuk kebenaran terdalam yang dicari cari oleh batiniah manusia yang menginginkan bentuk kebenaran yang bersifat pasti-mendasar dan tetap (tak berubah)
Dengan kata lain dunia indera menangkap bentuk kebenaran empirik-akal menangkap kebenaran rasional : bentuk  kebenaran konstruktif-konseptualistik dan hati menangkap dan menghayati adanya bentuk kebenaran hakiki
Apakah manusia bisa mulus melewati ke tiga tahapan dimensi kebenaran ini untuk bermuara pada kebenaran yang bersifat hakiki … ..jawabnya adalah : tidak (!)
Sebab nya adalah teramat banyak rintangan yang tidak ringan bagi akal dan hati untuk menggapai muara dari kebenaran hakiki yang bersifat abstrak itu
B.     Teori-Teori Kebenaran Menurut Filsafat
1.      Teori Korespondensi (The Correspondence Theory Of Truth)
Kebenaran atau keadaan benar itu berupa kesesuaian(correspondence) antara arti yang di maksud oleh suatu pendapat dengan apa yang sungguh merupakan halnya atau faktanya .[3] Teori kebenaran yang didasarkan pada teori korespondensi, dimana penggagas utamanya adalah Bernard Russell (1872-1970). Bagi penganut teori korespindensi ini, maka suatu pernyataan dianggap benar bila materi pengetahuan yang dikandung pernyataan tersebut saling berkesuaian dengan objek yang dituju oleh pernyataan tersebut.[4]
Pengetahuan ini dikatakan benar apabila di dalam kemanunggalan yang bersifat intrinsik, intensional, dan pasif-aktif terdapat kesesuaian antara apa yang ada di dalam pengetahuan subjek dengan apa yang ada di dalam objek. Hal itu karena puncak dari proses kognitif manusia terdapat di dalam budi atau pikiran manusia (intelectus) maka pengetahuan adalah benar bila apa yang terdapat di dalam budi pikiran subjek itu benar sesuai dengan apa yang ada di dalam objek.[5]
Dengan demikian, kebenaran dapat didefinisikan sebagai kesetiaan pada realitas objektif. Yaitu, suatu pernyataan yang sesuai dengan fakta atau sesuatu yang selaras dengan situasi. Teori korespondensi ini pada umumnya dianut oleh para pengikut realisme. Di antara pelopor teori korespondensi ini adalah Plato, Aristoteles, Moore, Russel, Ramsey, dan Tarski.[6]
Mengenai teori korespondensi tentang kebenaran dapat disimpulkan sebagai berikut: Kita mengenal 2 hal, yaitu pertama, pernyataan dan kedua, kenyataan. Menurut teori ini kebenaran adalah kesesuaian antara pernyataan dengan kenyataan dengan sesuatu itu sendiri.[7] Sebagaimana contoh dapat dikemukakan: “Tugu Monas ada di kota Jakarta” maka pernyataan tersebut adalah benar sebab pernyataan  itu dengan objek yang bersifat faktual yakni Jakarta yang memang tempat berdirinya monumen tugu monas. Apabila ada orang yang mengatakan bahwa “Tugu Monas di Semarang” maka pernyataan itu tidak benar sebab tidak terdapat objek yang sesuai dengan pernyataan itu. Dengan demikian secara faktual “Tugu Monas adadi Jakarta bukan di Semarang.[8]

2.      Teori Koherensi (The Consistence Theory Of Truth)
Teori kebenaran yang didasarkan pada teori koherensi, suatu proposisi (pernyataan) dianggap benar bilamana pernyataan tersebut bersifat koheren atau saling berhubungan dengan pernyataan-pernyataan sebelumnya yang dianggap benar.[9]
Kepastian mengenai kebenaran sekurang-kurangnya memiliki 4 pengertian, dimana suatu keyakinan tidak dapat diragukan kebenarannya, sehingga disebut pengetahuan. Pertama, pengertian yang bersifat psikologis. Kedua, pengertian yang bersifat logis. Ketiga, menyamakan kepastian dengan keyakinan yang tidak dapat dikoreksi.  Keempat, pengertian akan kepastian yang digunakan dalam pembicaraan umum, dimana hal itu diartikan sebagai kepastian yang didasarkan pada nalar yang tidak dapat diragukan atau dianggap salah. Jadi menurut teori ini, putusan yang satu dengan yang lainnya saling berhubungan dan saling menerangkan satu sama lainnya.
 Apabila teori korespondensi dianut oleh penganut realisme dan materialisme, teori konsistensi atau koherensi ini berkembang pada abad ke-19 dibawah pengaruh Hegel dan diikuti oleh mazhab idealisme. Seperti filsuf Britania F. M Bradley (1864-1924).[10]
Mengenai teori konsisteri ini dapatlah kita simpulkan sebagai berikut: Pertama, kebenaran menurut teori ini ialah kesesuaian antara suatu pernyataan dengan pernyataan lainnya yang sudah lebih dulu kita ketahui, terima dan akui sebagai benar. Kedua, teori ini agaknya dapat dinamakan teori penyaksian tentang kebenaran, karena menurut teori ini satu putusan dianggap benar apabila mendapat penyaksian-penyaksian oleh putusan lainnya yang terdahulu yang sudah diketahui diterima dan diakui sebenarnya.[11]
Bila kita menganggap bahwa “semua makhluk hidup pasti akan mati” adalah pernyataan yang benar, maka pernyataan bahwa “pohon kelapa adalah makhluk hidup dan pohon kelapa pasti akan mati” adalah benar pula, sebab pernyataan kedua konsisiten dengan pernyataan yang pertama.[12]
Diantara bentuk pengetahuan yang penyusunannya dan pembuktiannya didasarkan pada teori koherensi adalah ilmu Matematika dan turunannya. Matematika disusun pada beberapa dasar pernyataan yang dianggap benar, yaitu aksioma. Dengan menggunakan beberapa aksioma maka disusun suatu teorema. Di atas teorema dikembangkan kaidah-kaidah matematika yang secata keseluruhan merupakan suatu sistem yang konsisten. Contoh, 3 + 3 = 6  adalah benar karena sesuai dengan kebenaran yang sudah disepakati bersama, terutama dalam komunitas matematika. Jadi, ukuran kebenaran pada teori koherensi ini adlah konsistensi dan presisi.[13]
3.      Teori Pragmatisme (The Pragmatic Theory Of Truth)
Teori kebenaran yang didasarkan pada teori pragmatisme, teori ini yang dicetuskan oleh Peirce (1839-1914) dalam sebuah makalah yang terbit pada tahun 1878 yang berjudul “how to make our dear”. Bagi orang yang menganut teori pragmatisme ini menyatakan bahwa kebenaran suatu pernyataan diukur dengan kriteria apakah pernyataan tersebut bersifat fungsional dalam kehidupan praktis. Artinya suatu pernyataan dikatakan benar, jika pernyataan tersebut mempunyai kegunaan praktis dalam kehidupan manusia.[14]
Teori, hipotesa atau ide adalah benar apabila dia membawa kepada akibat yang memuaskan, apabila ia berlaku dalam praktik, apabila ia mempunyai nilai praktis. Menurut William James “ide-ide yang benar ialah ide-ide yang dapat kita serasikan, kita umumkan berlakunya, kita kuatkan dan kita periksa. Sebaliknya ide yang salah ialah ide yang tidak demikian”. Oleh sebab itu, tidak ada kebenaran mutlak, yang ada adalah kebenaran-kebenaran, yaitu apa yang benar dalam pengalaman-pengalaman khusus.[15]
Masalahnya sekarang ialah apa yang dimaksud dengan “hasil yang memuaskan” (satisfactory result) itu. Antara lain dikemukakan oleh penganutnya:
1.      Sesuatu itu benar apabila memuaskan keinginan dan tujuan manusia.
2.      Sesuatu itu benar apabila dapat diuji benar dengan eksperimen.
3.      Sesuatu itu benar apabila ia mendorong atau membantu perjuangan biologis untuk tetap ada.
Dalam sains dunia, suatu ilmu itu bermanfaat apa tidak bagi kehidupan manusia sehari-hari. Ilmu botani benar bagi para petani karena mendatangkan manfaat, tetapi belum tentu bagi pedagang karena ia tidak perlu ilmu botani. Yang diperlukan adalah matematika. Ilmu perbintangan itu bermanfaat bagi nelayan karena dapat memberi petunjuk arah dan keadaan cuaca pada saat dia sedang mengarungi lautan luas. [16]
C.    Hubungan Sains dan Agama[17]
Dalam pandangan saintis sekuler, agama dan sains memiliki perbedaan yang sangat jauh dan sukar ditemukan. Bidang kajian agama adalah alam metafisik, sedangkan alam kajian sains dari alam. Pendekatan agama deduktif emosional, sedangkan sains induktif rasional. Agama bersifat subjektif, sedangkan sains bersifat objektif. Ukuram agama adalah mukmin atau kafir, sedangkan sains benar atau salah. Anggapan para saintis demikian menunjukan bahwa titik singgung antara agama dan sains hampir tidak ada. Dan kalau ada itu pun terletak pada hal yang umum sekali, yaitu subjeknya sama-sama manusia.
Dari segi tujuan, agama berfungsi membimbing umat manusia agar hidup tenang dan bahagia di dunia dan di akhirat. Kebahagiaan di dunia menurut agama, adalah prasyarat untuk mencapai kebahagiaan di akhirat. Sains adalah salah satu sarana untuk membahagiakan dam mempermudah aktivitas manusia di dunia.
Pelaku kegiatan sains dan agama adalah sama-sama manusia. Agama dan sains sama-sama mengakui bahwa manusia maakhluk tertinggi tingkatannya dibandingkan makhluk lainnya. Dalam konsep islam, manusia dianggap sebagai khalifah di muka bumi, yakni pengganti Allah  untuk menjaga bumi.
Dalam beberapa agama dan sains sebenarnya saling membutuhkan. Agama membutuhkan penjelasan sains fakta-fakta yang ada di alam, sebagaimana termaktub dalam Kitab Suci. Al quran menegaskan agar selalu meneliti peredaran peredaran planet-planet dan meneliti kejadian bumi dan di langit. Sebaliknya, ilmu membutuhkan agama dalam membrikan dasar moral bagi penerapan dan kegunaan sains tersebut bagi kehidupan umat manusia dan lingkungannya. Keterjalinan agama dan sains inilah yang akan merupakan kunci kesuksesan dan kebahagian di dunia.
Manusia yang terdiri atas 2 unsur, yaitu jasmani dan rohani secara otomatis kedua unsur itu memiliki kebutuhan-kebutuhan sendiri. Kebutuhan jasmani dipenuhi oleh sains dan teknologi, sementara kebutuhan rohani dipenuhi oleh agama dan moralitas. Apabila 2 macam kebutuhan itu dipenuhi menurut agama, dia akan berbahagia di dunia dan di akhirat. Maka agama menekankan bahwa kebahagian rohani lebih penting dan bernilai daripada kebahagiaan materi. Kebahagiaan materi menurut agama, bersifat sementara dan akan hancur, sedangkan kebahagiaan rohani bersifat abadi.


BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Karena manusia memiliki perangkat berfikir yang berlapis: dunia indera-akal dan hati maka dalam eksistensi berfikirnya manusia mengalami berbagai lapisan pengalaman berfikir yang menunjukkan adanya berbagai lapisan kebenaran yang ditangkap secara berbeda oleh berbagai peralatan berfikir yang berbeda sehingga lahirlah pemahaman terhadap adanya berbagai bentuk kebenaran: kebenaran yang tertangkap oleh dunia indera -kebenaran yang tertangkap oleh akal dan kebenaran yang tertangkap oleh hati.
Teori-teori kebenaran menurut filsafat ada 3 yaitu:
1.      Teori Korespondensi (The Correspondence Theory Of Truth): Teori kebenaran yang didasarkan pada teori korespondensi, dimana penggagas utamanya adalah Bernard Russell (1872-1970). Bagi penganut teori korespindensi ini, maka suatu penrnyataan dianggap benar bila materi pengetahuan yang dikandung pernyataan tersebut saling berkesuaian dengan objek yang dituju oleh pernyataan tersebut.
2.      Teori Koherensi(The Consistence Theory Of Truth): Teori kebenaran yang didasarkan pada teori koherensi, suatu proposisi (pernyataan) dianggap benar bilamana pernyataan tersebut bersifat koheren atau saling berhubungan dengan pernyataan-pernyataan sebelumnya yang dianggap benar.
3.      Teori kebenaran yang didasarkan pada teori pragmatisme, teori ini yang dicetuskan oleh Peirce(1839-1914) dalam sebuah makalah yang terbit pada tahun 1878 yang berjudul “how to make our dear”. Bagi orang yang menganut teori pragmatisme ini menyatakan bahwa kebenaran suatu pernyataan diukur dengan kriteria apakah pernyataan tersebut bersifat fungsional dalam kehidupan praktis. Artinya suatu pernyataan dikatakan benar, jika pernyataan tersebut mempunyai kegunaan praktis dalam kehidupan manusia.
Dalam beberapa agama dan sains sebenarnya saling membutuhkan. Agama membutuhkan penjelasan sains fakta-fakta yang ada di alam, sebagaimana termaktub dalam Kitab Suci. Al quran menegaskan agar selalu meneliti peredaran peredaran planet-planet dan meneliti kejadian bumi dan di langit. Sebaliknya, ilmu membutuhkan agama dalam membrikan dasar moral bagi penerapan dan kegunaan sains tersebut bagi kehidupan umat manusia dan lingkungannya. Keterjalinan agama dan sains inilah yang akan merupakan kunci kesuksesan dan kebahagian di dunia.



DAFTAR PUSTAKA
            Buku
   Ansari, Saifuddin, (Ilmu Filsafat dan Agama), Surabaya : PT bina Ilmu Surabaya, 1987).
Bakhtiar, Amsal, (FILSAFAT ILMU), Cet. 12, Jakarta: Rajawali Pers, 2013.
Bakhtiar, Amshal (FILSAFAT AGAMA), Cet. 2, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2007.
Ihsan, Fuad, (FILSAFAT ILMU), Cet. 1, Jakarta: Rineka Cipta, 2010.
Surajiyo, FILSAFAT ILMU DAN PERKEMBANGANNYA DI INDONESIA(Jakarta, PT Bumi Aksara, 2010) .
          Internet



[1] Surajiyo, FILSAFAT ILMU DAN PERKEMBANGANNYA DI INDONESIA(Jakarta, PT Bumi Aksara, 2010) hal. 101
[3] Saifuddin Ansari, Ilmu Filsafat dan Agama(surabaya : PT bina Ilmu Surabaya, 1987), hal.18
[4] Fuad Ihsan, (FILSAFAT ILMU), Cet. 1, Jakarta: Rineka Cipta, 2010, Hal. 133.
[5] Amsal Bakhtiar, (FILSAFAT ILMU), Cet. 12, Jakarta: Rajawali Pers, 2013, Hal. 112.
[6] Ibid, Hal. 113.
[7] Ibid, Hal. 115.
[8] Fuad Ihsan, (FILSAFAT..., Hal. 134.
[9] Fuad Ihsan, (FILSAFAT ILMU), Cet. 1, Jakarta: Rineka Cipta, 2010, Hal. 113.
[10] Amsal Bakhtiar, (FILSAFAT ILMU), Cet. 12, Jakarta: Rajawali Pers, 2013, Hal. 116-117.
[11] Ibid, Hal. 117.
[12] Fuad Ihsan, (FILSAFAT...
[13] Amsal Bakhtiar, (FILSAFAT ILMU), Cet. 12, Jakarta: Rajawali Pers, 2013, Hal. 118.
[14] Fuad Ihsan, (FILSAFAT ILMU), Cet. 1, Jakarta: Rineka Cipta, 2010, Hal. 134.
[15] Amsal Bakhtiar, (FILSAFAT..., Hal. 119.
[16] Amsal Bakhtiar, (FILSAFAT ILMU), Cet. 12, Jakarta: Rajawali Pers, 2013, Hal. 120.
[17]Amshal Bakhtiar, (FILSAFAT AGAMA), Cet. 2, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2007. Hal. 225-262.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar