Makalah Kelompok I
KONSUMSI DALAM
ISLAM
Diajukan
Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas
Mata Kuliah : Ekonomi Mikro
Islam
Dosen Pembina :
Disusun Oleh
FITRIYAH PRAMITASARI
NORLIANI AULIA
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI PALANGKARAYA
JURUSAN SYARI’AH PROGRAM STUDI EKONOMI SYARI’AH
TAHUN AJARAN
Kata Pengantar
Puji syukur kami panjatkan kepada
Tuhan Yang Maha Esa karena berkat rahmat dan karunia-Nya kami dapat
menyelesaikan tugas makalah ini. Makalah ini disusun sedemikian rupa agar dapat
melengkapi tugas yang diberikan oleh Bapak Dosen Ekonomi Mikro Islam . Shalawat
dan salam semoga terlimpahkan kepada Baginda Besar Muhammad SAW karena beliau
telah membawa kita dari zaman jahiliah menuju ke zaman yang modern ini.
Dalam pembuatan makalah ini penulis
sadar bahwa masih ada kekurangan baik dalam kata maupun cara penulisan, oleh
karena itu kritik dan saran yang membangun kami terima dengan terbuka karena
merupakan anugerah untuk memperbaiki dan mengembangkan makalah ini di masa
mendatang.
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Konsumsi umumnya
didefinisikan sebagai pemakaian barang-barang hasil
industri
(pakaian, makanan dan sebagainya), atau barang-barang yang langsung memenuhi
keperluan ki`ta. Barang-barang seperti ini disebut
sebagai barang konsumsi. Kata yang berhubungan dengan konsusmsi
dalam Al-Qur’an dan Hadits, adalah makanan (al-ukul), yang mencakup juga
di dalamnya minuman (asy-syarab). Serta hal-hal lainnya seperti pakaian
(al-kiswan) dan perhiasan, seperti tercantum di dalam surat Al- A’raaf
ayat 31-32:
“Hai anak Adam, pakailah
pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) masjid, makanlah dan minumlah, dan
janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang
berlebih-lebihan. Katakanlah: ‘Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah
yang telah dikeluarkan-Nya untuk hamba-hamba_Nya dan (siapa pulakah yang
mengharamkan) rezeki yang baik?’ Katakanlah: ‘Semuanya itu (disediakan) bagi
orang-orang yang beriman dalam kehidupan dunia, khusus (untuk mereka saja) di
hari kiamat. Demikianlah Kami menjelaskan ayat-ayat itu bagi orang-orang yang
mengetahui.”
Konsumsi
merupakan bagian akhir dan sangat penting dalam pengolahan kekayaan. Sehingga
harus dimanfaatkan sebaik-baiknya untuk hal-hal yang
penting. Dengan demikian cara penggunaan kekayaan (konsumsi) harus
diarahkan pada pilihan-pilihan yang baik dan tepat agar dapat dimanfaatkan pada
jalan yang terbaik.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa pengertian dan tujuan dari konsumsi dalam islam?
2.
Apa saja prinsip – prinsip dan dari konsumsi dalam
islam ?
3.
Apa saja manfaat dalam konsumsi dalam islam ?
4.
Bagaimana prinsip-prinsip dalam perilaku konsumsi
dalam islam ?
C.
Tujuan Penulisan
1.
Untuk mengetahui apa itu konsumsi dalam islam.
2.
Untuk mengetahui prinsip – prinsip konsumsi dalam
islam.
3.
Untuk mengetahui manfaat dari konsumsi dalam islam
4.
Untuk mengetahui perilaku konsumsi dalam islam.
D.
Metode Penelitian
Metode yang di gunakan dalam makalah
ini adalah perpustakaan.
Bab II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Konsumsi Dalam Islam
Pengertian konsumsi secara umum
diformulasikan dengan: ”Pemakaian dan penggunaan barang – barang dan jasa,
seperti pakaian, makanan, minuman, rumah, peralatan rumah tangga, kenderaan,
alat-alat hiburan, media cetak dan elektronik, jasa telephon, jasa konsultasi
hukum, belajar/ kursus, dan sebagainya”. Sedangkan Konsumsi Islam Menurut Imam Al-Ghazali kebutuhan
(hajat) adalah keinginan manusia untuk mendapatkan sesuatu yang diperlukan
dalam rangka mempertahankan kelangsungan hidupnya dan menjalankan
fungsinya. Kita melihat misalnya dalam hal kebutuhan akan makanan dan pakaian.
Kebutuhan makanan adalah untuk menolak kelaparan dan melangsungkan kehidupan,
kebutuhan pakaian untuk menolak panas dan dingin.
Tujuan konsumsi dalam
Islam adalah untuk mewujudkan maslahah duniawi dan ukhrawi. Maslahah duniawi
ialah terpenuhinya kebutuhan dasar manusia, seperti makanan, minuman, pakaian,
perumahan, kesehatan, pendidikan (akal). Kemaslahatan akhirat ialah
terlaksanaya kewajiban agama seperti shalat dan haji. Artinya, manusia makan
dan minum agar bisa beribadah kepada Allah. Manusia berpakaian untuk menutup
aurat agar bisa shalat, haji, bergaul sosial dan terhindar dari perbuatan mesum
(nasab).[1]
B.
Prinsip-Prinsip
Konsumsi dalam islam
Dalam ekonomi Islam, konsumsi diakui sebagai salah
satu perilaku ekonomi
dan
kebutuhan asasi dalam kehidupan manusia. Perilaku konsumsi diartikan sebagai
setiap perilaku seorang konsumen untuk menggunakan dan memanfaatkan barang dan
jasa untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Namun Islam memberikan penekanan bahwa
fungsi perilaku konsumsi adalah untuk memenuhi kebutuhan manusia baik jasmani
dan ruhani sehingga mampu memaksimalkan fungsi kemanusiaannya sebagai hamba dan
khalifah Allah untuk mendapatkan kebahagiaan dunia dan akherat.kebahagiaan
dunia dan akherat. [2]
Menurut Abdul Mannan, dalam melakukan
konsumsi terdapat lima prinsip dasar, yaitu: [3]
1. Prinsip Keadilan
Prinsip ini mengandung
arti ganda mengenai mencari rizki yang halal dan tidak dilarang hukum. Artinya,
sesuatu yang dikonsumsi itu didapatkan secara halal dan tidak bertentangan
dengan hukum. Berkonsumsi tidak boleh menimbulkan kedzaliman, berada dalam
koridor aturan atau hukum agama, serta menjunjung tinggi kepantasan atau
kebaikan. Islam memiliki berbagai ketentuan tentang benda ekonomi yang boleh
dikonsumsi dan yang tidak boleh dikonsumsi. “Hai sekalian manusia, makanlah
yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi” (Qs al-Baqarah,2 : 169).
Keadilan yang dimaksud adalah mengkonsumsi sesuatu yang halal (tidak haram) dan
baik (tidak membahayakan tubuh). Kelonggaran diberikan bagi orang yang
terpaksa, dan bagi orang yang suatu ketika tidak mempunyai makanan untuk
dimakan. Ia boleh memakan makanan yang
terlarang itu sekedar yang dianggap perlu untuk kebutuhannya ketika itu saja.
2. Prinsip Kebersihan
Bersih dalam arti
sempit adalah bebas dari kotoran atau penyakit yang dapat merusak fisik dan
mental manusia, misalnya: makanan harus baik dan cocok untuk dimakan, tidak
kotor ataupun menjijikkan sehingga merusak selera. Sementara dalam arti luas
adalah bebas dari segala sesuatu yang diberkahi Allah. Tentu saja benda yang
dikonsumsi memiliki manfaat bukan kemubaziran atau bahkan merusak.
“Makanan diberkahi jika
kita mencuci tangan sebelum dan setelah memakannya” (HR Tarmidzi). Prinsip kebersihan ini bermakna makanan yang
dimakan harus baik, tidak kotor dan menjijikkan sehingga merusak selera. Nabi juga mengajarkan agar tidak meniup
makanan: ”Bila salah seorang dari kalian minum, janganlah meniup ke dalam
gelas” (HR Bukhari).
3. Prinsip Kesederhanaan
Sikap berlebih-lebihan
(israf) sangat dibenci oleh Allah dan merupakan pangkal dari berbagai kerusakan
di muka bumi. Sikap berlebih-lebihan ini mengandung makna melebihi dari
kebutuhan yang wajar dan cenderung memperturutkan hawa nafsu atau sebaliknya
terlampau kikir sehingga justru menyiksa diri sendiri. Islam menghendaki suatu
kuantitas dan kualitas konsumsi yang wajar bagi kebutuhan manusia sehingga
tercipta pola konsumsi yang efesien dan efektif secara individual maupun
sosial.
“Makan dan minumlah,
tapi jangan berlebihan; Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang
berlebih-lebihan” (Qs al-A’raf, 7: 31). Arti penting ayat-ayat ini adalah bahwa
kurang makan dapat mempengaruhi jiwa dan tubuh, demikian pula bila perut diisi
dengan berlebih-lebihan tentu akan berpengaruh pada perut.
4. Prinsip Kemurahan hati.
Allah dengan kemurahan
hati-Nya menyediakan makanan dan minuman untuk manusia (Qs al-Maidah, 5:
96). Maka sifat konsumsi manusia juga
harus dilandasi dengan kemurahan hati.
Maksudnya, jika memang masih banyak orang yang kekurangan makanan dan
minuman maka hendaklah kita sisihkan makanan yang ada pada kita, kemudian kita
berikan kepada mereka yang sangat membutuhkannya.
Dengan mentaati ajaran
Islam maka tidak ada bahaya atau dosa ketika mengkonsumsi benda-benda ekonomi
yang halal yang disediakan Allah karena kemurahan-Nya. Selama konsumsi ini
merupakan upaya pemenuhan kebutuhan yang membawa kemanfaatan bagi kehidupan dan
peran manusia untuk meningkatkan ketaqwaan kepada Allah maka Allah elah
memberikan anugrah-Nya bagi manusia.
5.
Prinsip
Moralitas.
Pada akhirnya konsumsi seorang muslim secara
keseluruhan harus
dibingkai
oleh moralitas yang dikandung dalam Islam sehingga tidak semata – mata memenuhi
segala kebutuhan. Allah memberikan makanan dan minuman untuk keberlangsungan
hidup umat manusia agar dapat meningkatkan nilai-nilai moral dan
spiritual. Seorang muslim diajarkan
untuk menyebut nama Allah sebelum makan dan menyatakan terimakasih setelah
makan.
C.
Manfaat
Pada dasarnya manfaat dan mudarat sebuah barang atau
jasa adalah semu
bukan
hakiki karena sangat dipengaruhi oleh waktu dan tempat juga konsumen sendiri,
boleh jadi bermanfaat bagi seseorang namun mudarat bagi orang lain. Dalam Islam
eksploitasi manfaat diharuskan proporsional dan profesional. Islam menganjurkan
untuk memanfaatkan barang dan jasa semaksimal mungkin namun pendayagunaan
tersebut harus sejalan dengan kondisi dan keadaan barang dan jasa yang diambil
manfaatnya. Sehingga tidak menyebabkan kerusakan atau pencemaran lingkungan
atau kerugian pihak lain. Karena tidak jarang orang yang terlalu berfikir
ekonomis, bahkan ia tidak mau menyisakan sedikitpun peluang untuk tidak ia
gunakan.[4]
D.
Prinsip –
Prinsip dasar perilaku konsumsi dalam islam
Prinsip
ini menuntut adanya perkiraan dan pengetahuan mengenai akibat yang dilakukan.
Prinsip ini mendorong konsumen untuk memaksimalkan nilai guna dengan usaha yang
paling minimal dengan melupakan nilai-nilai kemanusian. Akibatnya tercipta
individualisme dan self interest. Maka keseimbangan umum tidak dapat dicapai
dan terjadilah kerusakan dimuka bumi. [5]
Perilaku
konsumen Islami didasarkan atas rasionalitas yang disempurnakan dan
mengintegrasikan keyakinan dan kebenaran yang melampaui rasionalitas manusia
yang sangat terbatas berdasarkan Alquran dan Sunnah. Islam memberikan konsep
pemuasan kebutuhan dibarengi kekuatan moral, ketiadaan tekanan batin dan adanya
keharmonisan hubungan antara sesama.[6]
Dapat
kita simpulkan prinsip dasar perilaku konsumen Islami diantaranya:[7]
A.
Prinsip syariah,
yaitu menyangkut dasar syariat yang harus terpenuhi
dalam
melakukan konsumsi di mana terdiri dari: Prinsip akidah, yaitu hakikat konsumsi
adalah sebagai sarana untuk ketaatan untuk beribadah sebagai perwujudan
keyakinan manusia sebagai makhluk dan khalifah yang nantinya diminta
pertanggungjawaban oleh Pencipta. (QS. Al-An’am : 165). Prinsip ilmu, yaitu
seseorang ketika akan mengkonsumsi harus mengetahui ilmu tentang barang yang
akan dikonsumsi dan hukum-hukum yang berkaitan dengannya apakah merupakan sesuatu
yang halal atau haram baik ditinjau dari zat, proses, maupun tujuannya. Prinsip
amaliah, sebagai konsekuensi akidah dan ilmu yang telah diketahui tentang
konsumsi Islami tersebut, seseorang dituntut untuk menjalankan apa yang sudah
diketahui, maka dia akan mengkonsumsi hanya yang halal serta menjauhi yang
haram dan syubhat.
B.
Prinsip
kuantitas, yaitu sesuai dengan batas-batas kuantitas yang telah
dijelaskan
dalam syariat Islam, di antaranya: Sederhana, yaitu mengkonsumsi secara
proporsional tanpa menghamburkan harta, bermewah-mewah, mubazir, namun tidak
juga pelit (QS. Al-Isra: 27-29, Al-A’raf:31).Sesuai antara pemasukan dan
pengeluaran, artinya dalam mengkonsumsi harus disesuaikan dengan kemampuan yang
dimilikinya, bukan besar pasak daripada tiang. Menabung dan investasi, artinya
tidak semua kekayaan digunakan untuk konsumsi tapi juga disimpan untuk
kepentingan pengembangan kekayaan itu sendiri.
C.
Prinsip
prioritas, di mana memperhatikan urutan kepentingan yang harus
diprioritaskan
agar tidak terjadi kemudharatan, yaitu: Primer, adalah konsumsi dasar yang
harus terpenuhi agar manusia dapat hidup dan menegakkan kemaslahatan dirinya
dunia dan agamanya serta orang terdekatnya, seperti makanan pokok. Sekunder,
yaitu konsumsi untuk menambah/meningkatkan tingkat kualitas hidup yang lebih
baik, jika tidak terpenuhi maka manusia akan mengalami kesusahan. Tersier,
yaitu konsumsi pelengkap manusia.
D.
Prinsip sosial,
yaitu memperhatikan lingkungan sosial di sekitarnya
sehingga
tercipta keharmonisan hidup dalam masyarakat, di antaranya: Kepentingan umat,
yaitu saling menanggung dan menolong sehingga Islam mewajibkan zakat bagi yang mampu juga
menganjurkan sadaqah, infaq dan wakaf. Keteladanan, yaitu memberikan contoh
yang baik dalam berkonsumsi baik dalm
keluarga atau masyarakat . Tidak membahayakan orang yaitu dalam mengkonsumsi
justru tidak merugikan dan memberikan madharat ke orang lain seperti merokok.
E.
Kaidah
lingkungan, yaitu dalam mengkonsumsi harus sesuai dengan
kondisi
potensi daya dukung sumber daya atam dan kebertanjutannya atau tidak merusak
lingkungan .
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Teori perilaku konsumen yang dibangun berdasarkan syari'ah islam, memiliki perbedaan yang mendasar dengan teori konvensional. Perbedaan ini menyangkut nilai dasar yang menjadikan fondasi teori, motif dan tujuan konsumsi hingga teknik pilihan dan alokasi anggaran untuk berkonsumsi
Ada tiga nilai dasar yang menjadi fondasi bagi perilaku konsumsi masyarakat muslim :
a. Keyakinan akan adanya hari kiamat dan kehidupan akhirat, prinsip ini mengarahkan seorang konsumen untuk mengutamakan konsumsi untuk akhirat daripada dunia. Mengutamakan konsumsi untuk ibadah daripada konsumsi duniawi. Konsumsi untuk ibadah merupakan future consumption (karena terdapat balasan surga di akherat), sedangkan konsumsi duniawi adalah present consumption.
b. Konsep sukses dalam kehidupan seorang muslim diukur dengan moral agama Islam, dan bukan dengan jumlah kekayaan yang dimiliki. Semakin tinggi moralitas semakin tinggi pula kesuksesan yang dicapai. Kebajikan, kebenaran dan ketaqwaan kepada Allah merupakan kunci moralitas Islam. Kebajikan dan kebenaran dapat dicapai dengan prilaku yang baik dan bermanfaat bagi kehidupan dan menjauhkan diri dari kejahatan.
c. Kedudukan harta merupakan anugrah Allah dan bukan sesuatu yang dengan sendirinya bersifat buruk (sehingga harus dijauhi secara berlebihan). Harta merupakan alat untuk mencapai tujuan hidup, jika diusahakan dan dimanfaatkan dengan benar.
[1]
Akmal Tarigan, et al. Dasar-dasar Ekonomi Islam, (Bandung: Citapustaka
Media, 2006), hlm. 263.
[2] M.A. Mannan, Teori dan Praktek
Ekonomi Islam, (Yogyakarta: Dana Bhakti Prima Yasa, 1997), hlm. 44.
[3] Ibid., hlm. 45.
[4] Rafiq Yunus al-Misri, Ushûl
al-Iqtishâd….. hal. 186-187
[5] Edwin Nasution, et. Al,
Pengenalan Ekslusif Ekonomi Islam, Kencana Prenada Media Group, Jakarta,
cet.III , 2010, hal. 61
[6] Mustafa Edwin Nasution, et.
Al, Pengenalan Ekslusif op.cit,
hal. 60
[7] Arif Priyono, Teori Konsumsi
Islam. Dikutip dari, Jaribah bin Ahmad Al-Haritsi, Al-Fiqh AI-Iqtishâdi Li
Amîril Mukmiîin Umar Ibn Al-Khaththâb, diterjemahkan oleh Asmuni Solihan
Zamalchsyari, Fikih Ekonomi Umar bin AI-Kaththab, Khalifa , Jakarta. Lihat: Rafiq
Yunus al-Misri, Ushûl al-Iqtishâd al-Islâmî, Dâr al-Qalam, Damasqus, Cet. I,
2010, hal. 182-185
Tidak ada komentar:
Posting Komentar