Minggu, 18 Mei 2014

Ekonomi Mikro Islam

Makalah Kelompok  I

KONSUMSI DALAM ISLAM

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas
Mata Kuliah : Ekonomi Mikro Islam
Dosen  Pembina : 

Disusun Oleh
FITRIYAH PRAMITASARI
NORLIANI AULIA


SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI PALANGKARAYA
JURUSAN SYARI’AH PROGRAM STUDI EKONOMI SYARI’AH 
TAHUN AJARAN 




Kata Pengantar
Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena berkat rahmat dan karunia-Nya kami dapat menyelesaikan tugas makalah ini. Makalah ini disusun sedemikian rupa agar dapat melengkapi tugas yang diberikan oleh Bapak Dosen Ekonomi Mikro Islam . Shalawat dan salam semoga terlimpahkan kepada Baginda Besar Muhammad SAW karena beliau telah membawa kita dari zaman jahiliah menuju ke zaman yang modern ini.
Dalam pembuatan makalah ini penulis sadar bahwa masih ada kekurangan baik dalam kata maupun cara penulisan, oleh karena itu kritik dan saran yang membangun kami terima dengan terbuka karena merupakan anugerah untuk memperbaiki dan mengembangkan makalah ini di masa mendatang.





BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Konsumsi umumnya didefinisikan sebagai pemakaian barang-barang  hasil
industri (pakaian, makanan dan sebagainya), atau barang-barang yang langsung memenuhi keperluan ki`ta.  Barang-barang seperti ini disebut sebagai barang konsumsi.  Kata yang berhubungan dengan konsusmsi dalam Al-Qur’an dan Hadits, adalah makanan (al-ukul), yang mencakup juga di dalamnya minuman (asy-syarab). Serta hal-hal lainnya seperti pakaian (al-kiswan) dan perhiasan, seperti tercantum di dalam surat Al- A’raaf ayat 31-32:

Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) masjid, makanlah dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan. Katakanlah: ‘Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah dikeluarkan-Nya untuk hamba-hamba_Nya dan (siapa pulakah yang mengharamkan) rezeki yang baik?’ Katakanlah: ‘Semuanya itu (disediakan) bagi orang-orang yang beriman dalam kehidupan dunia, khusus (untuk mereka saja) di hari kiamat. Demikianlah Kami menjelaskan ayat-ayat itu bagi orang-orang yang mengetahui.”
Konsumsi merupakan bagian akhir dan sangat penting dalam pengolahan kekayaan. Sehingga harus  dimanfaatkan sebaik-baiknya untuk hal-hal yang penting.  Dengan demikian cara penggunaan kekayaan (konsumsi) harus diarahkan pada pilihan-pilihan yang baik dan tepat agar dapat dimanfaatkan pada jalan yang terbaik.

B.     Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian dan tujuan dari konsumsi dalam islam?
2.      Apa saja prinsip – prinsip dan dari konsumsi dalam islam ?
3.      Apa saja manfaat dalam konsumsi dalam islam ?
4.      Bagaimana prinsip-prinsip dalam perilaku konsumsi dalam islam ?
C.     Tujuan Penulisan
1.      Untuk mengetahui apa itu konsumsi dalam islam.
2.      Untuk mengetahui prinsip – prinsip konsumsi dalam islam.
3.      Untuk mengetahui manfaat dari konsumsi dalam islam
4.      Untuk mengetahui perilaku konsumsi dalam islam.
D.    Metode Penelitian
Metode yang di gunakan dalam makalah ini adalah perpustakaan.


Bab II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Konsumsi Dalam Islam
Pengertian konsumsi secara umum diformulasikan dengan: ”Pemakaian dan penggunaan barang – barang dan jasa, seperti pakaian, makanan, minuman, rumah, peralatan rumah tangga, kenderaan, alat-alat hiburan, media cetak dan elektronik, jasa telephon, jasa konsultasi hukum, belajar/ kursus, dan sebagainya”. Sedangkan Konsumsi Islam Menurut Imam Al-Ghazali kebutuhan (hajat) adalah keinginan manusia untuk mendapatkan sesuatu yang diperlukan dalam rangka mempertahankan kelangsungan hidupnya dan menjalankan fungsinya. Kita melihat misalnya dalam hal kebutuhan akan makanan dan pakaian. Kebutuhan makanan adalah untuk menolak kelaparan dan melangsungkan kehidupan, kebutuhan pakaian untuk menolak panas dan dingin.
Tujuan konsumsi dalam Islam adalah untuk mewujudkan maslahah duniawi dan ukhrawi. Maslahah duniawi ialah terpenuhinya kebutuhan dasar manusia, seperti makanan, minuman, pakaian, perumahan, kesehatan, pendidikan (akal). Kemaslahatan akhirat ialah terlaksanaya kewajiban agama seperti shalat dan haji. Artinya, manusia makan dan minum agar bisa beribadah kepada Allah. Manusia berpakaian untuk menutup aurat agar bisa shalat, haji, bergaul sosial dan terhindar dari perbuatan mesum (nasab).[1]
B.     Prinsip-Prinsip Konsumsi dalam islam
Dalam ekonomi Islam, konsumsi diakui sebagai salah satu perilaku ekonomi
dan kebutuhan asasi dalam kehidupan manusia. Perilaku konsumsi diartikan sebagai setiap perilaku seorang konsumen untuk menggunakan dan memanfaatkan barang dan jasa untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Namun Islam memberikan penekanan bahwa fungsi perilaku konsumsi adalah untuk memenuhi kebutuhan manusia baik jasmani dan ruhani sehingga mampu memaksimalkan fungsi kemanusiaannya sebagai hamba dan khalifah Allah untuk mendapatkan kebahagiaan dunia dan akherat.kebahagiaan dunia dan akherat. [2]
     Menurut Abdul Mannan, dalam melakukan konsumsi terdapat lima prinsip dasar, yaitu: [3]
1. Prinsip Keadilan
Prinsip ini mengandung arti ganda mengenai mencari rizki yang halal dan tidak dilarang hukum. Artinya, sesuatu yang dikonsumsi itu didapatkan secara halal dan tidak bertentangan dengan hukum. Berkonsumsi tidak boleh menimbulkan kedzaliman, berada dalam koridor aturan atau hukum agama, serta menjunjung tinggi kepantasan atau kebaikan. Islam memiliki berbagai ketentuan tentang benda ekonomi yang boleh dikonsumsi dan yang tidak boleh dikonsumsi. “Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi” (Qs al-Baqarah,2 : 169). Keadilan yang dimaksud adalah mengkonsumsi sesuatu yang halal (tidak haram) dan baik (tidak membahayakan tubuh). Kelonggaran diberikan bagi orang yang terpaksa, dan bagi orang yang suatu ketika tidak mempunyai makanan untuk dimakan.  Ia boleh memakan makanan yang terlarang itu sekedar yang dianggap perlu untuk kebutuhannya ketika itu saja.
2.    Prinsip Kebersihan
Bersih dalam arti sempit adalah bebas dari kotoran atau penyakit yang dapat merusak fisik dan mental manusia, misalnya: makanan harus baik dan cocok untuk dimakan, tidak kotor ataupun menjijikkan sehingga merusak selera. Sementara dalam arti luas adalah bebas dari segala sesuatu yang diberkahi Allah. Tentu saja benda yang dikonsumsi memiliki manfaat bukan kemubaziran atau bahkan merusak.
“Makanan diberkahi jika kita mencuci tangan sebelum dan setelah memakannya” (HR Tarmidzi).  Prinsip kebersihan ini bermakna makanan yang dimakan harus baik, tidak kotor dan menjijikkan sehingga merusak selera.  Nabi juga mengajarkan agar tidak meniup makanan: ”Bila salah seorang dari kalian minum, janganlah meniup ke dalam gelas” (HR Bukhari).
3.    Prinsip Kesederhanaan
Sikap berlebih-lebihan (israf) sangat dibenci oleh Allah dan merupakan pangkal dari berbagai kerusakan di muka bumi. Sikap berlebih-lebihan ini mengandung makna melebihi dari kebutuhan yang wajar dan cenderung memperturutkan hawa nafsu atau sebaliknya terlampau kikir sehingga justru menyiksa diri sendiri. Islam menghendaki suatu kuantitas dan kualitas konsumsi yang wajar bagi kebutuhan manusia sehingga tercipta pola konsumsi yang efesien dan efektif secara individual maupun sosial.
“Makan dan minumlah, tapi jangan berlebihan; Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan” (Qs al-A’raf, 7: 31). Arti penting ayat-ayat ini adalah bahwa kurang makan dapat mempengaruhi jiwa dan tubuh, demikian pula bila perut diisi dengan berlebih-lebihan tentu akan berpengaruh pada perut.
4.    Prinsip Kemurahan hati.
Allah dengan kemurahan hati-Nya menyediakan makanan dan minuman untuk manusia (Qs al-Maidah, 5: 96).  Maka sifat konsumsi manusia juga harus dilandasi dengan kemurahan hati.  Maksudnya, jika memang masih banyak orang yang kekurangan makanan dan minuman maka hendaklah kita sisihkan makanan yang ada pada kita, kemudian kita berikan kepada mereka yang sangat membutuhkannya.
Dengan mentaati ajaran Islam maka tidak ada bahaya atau dosa ketika mengkonsumsi benda-benda ekonomi yang halal yang disediakan Allah karena kemurahan-Nya. Selama konsumsi ini merupakan upaya pemenuhan kebutuhan yang membawa kemanfaatan bagi kehidupan dan peran manusia untuk meningkatkan ketaqwaan kepada Allah maka Allah elah memberikan anugrah-Nya bagi manusia.
5.      Prinsip Moralitas.
Pada akhirnya konsumsi seorang muslim secara keseluruhan harus
dibingkai oleh moralitas yang dikandung dalam Islam sehingga tidak semata – mata memenuhi segala kebutuhan. Allah memberikan makanan dan minuman untuk keberlangsungan hidup umat manusia agar dapat meningkatkan nilai-nilai moral dan spiritual.  Seorang muslim diajarkan untuk menyebut nama Allah sebelum makan dan menyatakan terimakasih setelah makan.
C.     Manfaat
Pada dasarnya manfaat dan mudarat sebuah barang atau jasa adalah semu
bukan hakiki karena sangat dipengaruhi oleh waktu dan tempat juga konsumen sendiri, boleh jadi bermanfaat bagi seseorang namun mudarat bagi orang lain. Dalam Islam eksploitasi manfaat diharuskan proporsional dan profesional. Islam menganjurkan untuk memanfaatkan barang dan jasa semaksimal mungkin namun pendayagunaan tersebut harus sejalan dengan kondisi dan keadaan barang dan jasa yang diambil manfaatnya. Sehingga tidak menyebabkan kerusakan atau pencemaran lingkungan atau kerugian pihak lain. Karena tidak jarang orang yang terlalu berfikir ekonomis, bahkan ia tidak mau menyisakan sedikitpun peluang untuk tidak ia gunakan.[4]
D.    Prinsip – Prinsip dasar perilaku konsumsi dalam islam
Prinsip ini menuntut adanya perkiraan dan pengetahuan mengenai akibat yang dilakukan. Prinsip ini mendorong konsumen untuk memaksimalkan nilai guna dengan usaha yang paling minimal dengan melupakan nilai-nilai kemanusian. Akibatnya tercipta individualisme dan self interest. Maka keseimbangan umum tidak dapat dicapai dan terjadilah kerusakan dimuka bumi. [5]
Perilaku konsumen Islami didasarkan atas rasionalitas yang disempurnakan dan mengintegrasikan keyakinan dan kebenaran yang melampaui rasionalitas manusia yang sangat terbatas berdasarkan Alquran dan Sunnah. Islam memberikan konsep pemuasan kebutuhan dibarengi kekuatan moral, ketiadaan tekanan batin dan adanya keharmonisan hubungan antara sesama.[6]
Dapat kita simpulkan prinsip dasar perilaku konsumen Islami diantaranya:[7]
A.    Prinsip syariah, yaitu menyangkut dasar syariat yang harus terpenuhi
dalam melakukan konsumsi di mana terdiri dari: Prinsip akidah, yaitu hakikat konsumsi adalah sebagai sarana untuk ketaatan untuk beribadah sebagai perwujudan keyakinan manusia sebagai makhluk dan khalifah yang nantinya diminta pertanggungjawaban oleh Pencipta. (QS. Al-An’am : 165). Prinsip ilmu, yaitu seseorang ketika akan mengkonsumsi harus mengetahui ilmu tentang barang yang akan dikonsumsi dan hukum-hukum yang berkaitan dengannya apakah merupakan sesuatu yang halal atau haram baik ditinjau dari zat, proses, maupun tujuannya. Prinsip amaliah, sebagai konsekuensi akidah dan ilmu yang telah diketahui tentang konsumsi Islami tersebut, seseorang dituntut untuk menjalankan apa yang sudah diketahui, maka dia akan mengkonsumsi hanya yang halal serta menjauhi yang haram dan syubhat.
B.     Prinsip kuantitas, yaitu sesuai dengan batas-batas kuantitas yang telah
dijelaskan dalam syariat Islam, di antaranya: Sederhana, yaitu mengkonsumsi secara proporsional tanpa menghamburkan harta, bermewah-mewah, mubazir, namun tidak juga pelit (QS. Al-Isra: 27-29, Al-A’raf:31).Sesuai antara pemasukan dan pengeluaran, artinya dalam mengkonsumsi harus disesuaikan dengan kemampuan yang dimilikinya, bukan besar pasak daripada tiang. Menabung dan investasi, artinya tidak semua kekayaan digunakan untuk konsumsi tapi juga disimpan untuk kepentingan pengembangan kekayaan itu sendiri.
C.     Prinsip prioritas, di mana memperhatikan urutan kepentingan yang harus
diprioritaskan agar tidak terjadi kemudharatan, yaitu: Primer, adalah konsumsi dasar yang harus terpenuhi agar manusia dapat hidup dan menegakkan kemaslahatan dirinya dunia dan agamanya serta orang terdekatnya, seperti makanan pokok. Sekunder, yaitu konsumsi untuk menambah/meningkatkan tingkat kualitas hidup yang lebih baik, jika tidak terpenuhi maka manusia akan mengalami kesusahan. Tersier, yaitu konsumsi pelengkap manusia. 

D.    Prinsip sosial, yaitu memperhatikan lingkungan sosial di sekitarnya
sehingga tercipta keharmonisan hidup dalam masyarakat, di antaranya: Kepentingan umat, yaitu saling menanggung dan menolong sehingga Islam   mewajibkan zakat bagi yang mampu juga menganjurkan sadaqah, infaq dan wakaf. Keteladanan, yaitu memberikan contoh yang baik dalam berkonsumsi  baik dalm keluarga atau masyarakat . Tidak membahayakan orang yaitu dalam mengkonsumsi justru tidak merugikan dan memberikan madharat ke orang lain seperti merokok.
E.     Kaidah lingkungan, yaitu dalam mengkonsumsi harus sesuai dengan
kondisi potensi daya dukung sumber daya atam dan kebertanjutannya atau tidak merusak lingkungan .




BAB III
PENUTUP

Kesimpulan 
         Teori perilaku konsumen yang dibangun berdasarkan syari'ah islam, memiliki perbedaan yang mendasar dengan teori konvensional. Perbedaan ini menyangkut nilai dasar yang menjadikan fondasi teori, motif dan tujuan konsumsi hingga teknik pilihan dan alokasi anggaran untuk berkonsumsi 
              Ada tiga nilai dasar yang menjadi fondasi bagi perilaku konsumsi masyarakat muslim :
a.       Keyakinan akan adanya hari kiamat dan kehidupan akhirat, prinsip ini mengarahkan seorang konsumen untuk mengutamakan konsumsi untuk akhirat daripada dunia. Mengutamakan konsumsi untuk ibadah daripada konsumsi duniawi. Konsumsi untuk ibadah merupakan future consumption (karena terdapat balasan surga di akherat), sedangkan konsumsi duniawi adalah present consumption.
b.      Konsep sukses dalam kehidupan seorang muslim diukur dengan moral agama Islam, dan bukan dengan jumlah kekayaan yang dimiliki. Semakin tinggi moralitas semakin tinggi pula kesuksesan yang dicapai. Kebajikan, kebenaran dan ketaqwaan kepada Allah merupakan kunci moralitas Islam. Kebajikan dan kebenaran dapat dicapai dengan prilaku yang baik dan bermanfaat bagi kehidupan dan menjauhkan diri dari kejahatan.
c.       Kedudukan harta merupakan anugrah Allah dan bukan sesuatu yang dengan sendirinya bersifat buruk (sehingga harus dijauhi secara berlebihan). Harta merupakan alat untuk mencapai tujuan hidup, jika diusahakan dan dimanfaatkan dengan benar.












[1]  Akmal Tarigan, et al. Dasar-dasar Ekonomi Islam, (Bandung: Citapustaka Media, 2006), hlm. 263.
[2] M.A. Mannan, Teori dan Praktek Ekonomi Islam, (Yogyakarta: Dana Bhakti Prima Yasa, 1997), hlm. 44.
[3] Ibid., hlm. 45.
[4] Rafiq Yunus al-Misri, Ushûl al-Iqtishâd….. hal. 186-187
[5] Edwin Nasution, et. Al, Pengenalan Ekslusif Ekonomi Islam, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, cet.III , 2010, hal. 61
[6] Mustafa Edwin Nasution, et. Al, Pengenalan Ekslusif op.cit,  hal. 60
[7] Arif Priyono, Teori Konsumsi Islam. Dikutip dari, Jaribah bin Ahmad Al-Haritsi, Al-Fiqh AI-Iqtishâdi Li Amîril Mukmiîin Umar Ibn Al-Khaththâb, diterjemahkan oleh Asmuni Solihan Zamalchsyari, Fikih Ekonomi Umar bin AI-Kaththab, Khalifa , Jakarta. Lihat: Rafiq Yunus al-Misri, Ushûl al-Iqtishâd al-Islâmî, Dâr al-Qalam, Damasqus, Cet. I, 2010, hal. 182-185





Tidak ada komentar:

Posting Komentar