Jumat, 23 Mei 2014

Pengantar Tata Hukum Indonesia

HUKUM PERBURUHAN

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas
Mata Kuliah : PENGANTAR TATA HUKUM INDONESIA
Dosen Pembimbing : Abdul Khair.MH.


Disusun Oleh
Norliyani Aulia
NIM    : 1302120220
Fitriyah Pramitasari
NIM    : 1302120253


SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI PALANGKARAYA
JURUSAN SYARI’AH  PRODI EKONOMI SYARI’AH

TAHUN 2014/ 1435 H


KATA PENGANTAR

Assalamualaikum wr.wb
Alhamdulillah puji syukur kami haturkan atas kehadirat Allah SWT, karena atas rahmat-Nya Kami dapat  menyelesaikan makalah kelompok mata kuliah Pengantar Tata Hukum Indonesia yang berjudul “Hukum Perburuhan“.
 Dalam penyelesaian makalah ini penulis banyak mendapatkan bantuan dan bimbingan dari beberapa pihak, untuk itu melalui kata pengantar ini penulis mengharapkan kritik  dan saran demi kesempurnaan makalah ini. Dan tidak pula penulis mengucapkan terima kasih kepada Dosen mata kuliah Pengantar Tata Hukum Indonesia
 Sebagai bantuan dan dorongan serta bimbingan yang telah diberikan kepada penulis dapat diterima dan menjadi amal sholeh dan diterima Allah sebagai sebuah kebaikan. Semoga makalah ini bermanfaat khususnya bagi penulis dan semua pembaca pada umumnya .
Wassalamualaikum wr.wb

Palangkaraya , Mei 2014


Tim Penulis
 







DAFTAR ISI
COVER
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I             PENDAHULUAN
a.         Latar Belakang.................................................................... 
b.        Rumusan Masalah............................................................... 
c.         Tujuan Penulisan................................................................. 
d.        Metode Penulisan................................................................ 
BAB II            PEMBAHASAN
a.         Pengertian hukum perburuhan ...........................................  
b.        Sumber-sumber hukum perburuhan ...................................  
c.         Hakikat dan sifat hukum perburuhan ................................. 
d.        Subjek dan hubungan kerja hukum perburuhan ................. 
e.         Perjanjian kerja dan perselisihan hukum Perburuhan .........  

DAFTAR PUSTAKA




BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Pembangunan nasional, khususnya bidang ketenagakerjaan diarahkan untuk sebesar-besarnya bagi kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat pekerja. Oleh karena itu hukum ketenagakerjaan harus dapat menjamin kepastian hukum, nilai keadilan, asas kemanfaatan, ketertiban, perlindungan dan penegakan hukum. Seiring dengan pembangunan bidang ketenagakerjaan, tampak maraknya para pelaku dunia usaha berbenah diri pasca krisis ekonomi dan moneter untuk bangun dari mimpi yang buruk, serta terpaan gelombang krisis ekonomi global yang melanda asia tenggara, di mana Indonesia tidak lepas dari terpaan gelombang tersebut. Pemerintah dalam upaya mengatasi krisis ekonomi global bersama dengan masyarakat, terutama para pelaku usaha, salah satu alasan pokok untuk menstabilkan perekonomian dan menjaga keseimbangan moneter serta menghindari kebangkrutan sebagian besar perusahaan yang berdampak terhadap sebagian besar nasib para pekerja pabrikan dan berujung pada pemutusan hubungan kerja.
Pemerintah selaku pembina, pengawas, dan penindakan hukum melaksanakan aturan hukum dengan hati-hati mengingat posisi pengusaha dan pekerja merupakan aset potensial bagi negara, sekaligus subyek pembangunan nasional yang berkedudukan sama dihadapan hukum. Aturan hukum sebagai pedoman tingkah laku wajib dipatuhi para pihak dan dengan penuh rasa tanggung-jawab. Kepatuhan bukan merupakan paksaan, melainkan budaya taat terhadap ketentuan hukum.
Pada dasarnya hukum ketenagakerjaan mempunyai sifat melindungi dan menciptakan rasa aman, tentram, dan sejahtera dengan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat. Hukum ketenagakerjaan dalam memberi perlindungan harus berdasarkan pada dua aspek, Pertama, hukum dalam perspektif ideal diwujudkan dalam peraturan perundang-undangan (heterotom) dan hukum yang bersifat otonom. Ranah hukum ini harus dapat mencerminkan produk hukum yang sesuai  cita-cita keadilan dan kebenaran, berkepastian, dan mempunyai nilai manfaat bagi para pihak dalam  proses produksi.
B.     Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian dari hukum perburuhan ?
2.      Apa saja sumber-sumber hukum perburuhan di Indonesia ?
3.      Apa saja hakikat dan sifat dari hukum perburuhan di Indonesia ?
4.      Apa saja subjek dan hubungan kerja didalam hukum perburuhan di indonesia ?
5.      Apa saja perjanjian kerja dan perselisihan hukum perburuhan di indonesia ?
C.     Tujuan Penulisan
Untuk mengetahui :
                                   1.       pengertian dari hukum perburuhan (ketenagakerjaan) di Indonesia.
                                   2.       Sumber-sumber hukum perburuhan di Indonesia  
                                   3.       Hakikat dan sifat di dalam hukum perburuhan di Indonesia .
                                   4.       Subjek dan hubungan kerja didalam hukum perburuhan di Indonesia.
                                   5.       Perjanjian kerja dan perselisihan hukum perburuhan di Indonesia

D.    Metode Penelitian
Adapun metode yang digunakan dalam makalah ini adalah:
                                 1.         Metode Kepustakaan
                                 2.         Metode Telusur Internet





BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Hukum Perburuan
Hukum perburuhan atau ketenagakerjaan (Labour Law) adalah  bagian dari hukum berkenaan dengan pengaturan hubungan perburuhan baik bersifat perseorangan  maupun  kolektif.  Secara tradisional, hukum perburuhan terfokus pada mereka (buruh) yang melakukan pekerjaan dalam suatu hubungan subordinatif (dengan pengusaha/majikan). Disiplin hukum ini mencakup persoalan-persoalan seperti  pengaturan  hukum  atau  kesepakatan  kerja,  hak  dan  kewajiban bertimbal-balik dari buruh/pekerja dan majikan,  penetapan upah, jaminan kerja, kesehatan dan keamanan  kerja dalam  lingkungan  kerja, non-diskriminasi,  kesepakatan kerja bersama/kolektif, peran-serta pekerja, hak mogok, jaminan pendapatan/penghasilan dan penyelenggaraan  jaminan kesejahteraan bagi pekerja dan keluarga mereka.[1] Dalam kepustakaan internasional, galibnya kajian Hukum Perburuhan terbagi ke dalam tiga bagian:
                                 1.         Hukum Hubungan Kerja Individual (Individual Employment Law);
                                 2.         Hukum Perburuhan Kolektif/perihal (Collective Labour Law);
                                 3.         Hukum Jaminan Sosial (Social Security Law), sejauh terkait dengan pokok-pokok bahasan di atas.
Menurut Molenaar berpendapat hukum perburuhan ialah suatu bagian dari hukum yang berlaku pada pokoknya mengatur hubungan antara buruh dan majikan dan antara buruh dengan buruh dan antara buruh dengan pengusaha. Sedangkan menurut Profesor Mochtar kusumaatmadja, fungsi hukum itu adalah sebagai sarana pembaharuan masyarakat. Dalam rangka pembangunan, yang dimaksud  dengan  saran pembaharuan  itu adalah sebagai  penyalur  arah  kegiatan manusia ke arah yang diharapkan oleh pembangunan.[2] Sebagaimana halnya dengan hukum yang  lain, hukum ketenagakerjaan mempunyai fungsi sebagai sarana pembaharuan  masyarakat yang menyalurkan arah kegiatan manusia kearah yang  sesuai  dengan  apa  yang dikehendaki oleh pembangunan ketenagakerjaan. Pembangunan  ketenagakerjaan  sebagai salah  satu  upaya dalam  mewujudkan  pembangunan nasional diarahkan  untuk mengatur, membina dan mengawasi segala kegiatan yang berhubungan dengan tenaga  kerja sehingga dapat terpelihara adanya ketertiban  untuk mencapai keadilan. Pengaturan, pembinaan, dan  pengawasan yang dilakukan berdasarkan perundang-undangan yang berlaku di bidang  ketenagakerjaan itu harus memadai dan sesuai dengan laju perkembangan pembangunan yang semakin pesat sehingga dapat mengantisipasi tuntutan perencanaan tenaga kerja, pembinaan  hubungan industrial dan peningkatan perlindungan tenaga kerja.[3]
Tujuan dari hukum perburuhan (ketenagakerjaan)  itu sendiri  ialah  sebagai berikut :
a.       Memberdayakan dan mendaya gunakan tenaga kerja secara optimal dan manusiawi.
b.      Mewujudkan pemerataan kesempatan kerja dan penyediaan tenaga kerja yang sesuai dengan kebutuhan pembangunan  nasional dan  daerah.   Memberikan perlindungan kepada tenaga kerja.
c.       Meningkatkan kesejahteraan tenaga kerja dan keluarganya.
B.     Sumber-sumber Hukum Perburuhan
Dalam hukum perburuhan Indonesia saat ini, sumber hukum terpenting dalam bentuk perundang-undangan ialah:
                       1.         Undang-undang Ketenagakerjaan
                       2.         Undang-undang tentang Serikat Pekerja/Buruh dan
                       3.         Undang-undang tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial.
Ketiga pilar di atas membentuk inti dari hukum perburuhan Indonesia
dan menjadi pokok bahasan pengantar ini. Kendati begitu perlu pula dicermati bahwa sumber-sumber hukum lainnya juga harus dirujuk dan berperan dalam penyelesaian perselisihan atau sengketa perburuhan
konkrit. Secara umum, sumber-sumber hukum yang terpenting ialah:
a.       Perjanjian-perjanjian internasional yang sudah diratifikasi oleh
b.      pemerintah Republik Indonesia
c.       Undang-undang Dasar 1945
d.      Perundang-undangan untuk hal-hal khusus
e.       Peraturan dan Keputusan Menteri
f.       Kesepakatan kerja bersama
g.      Presiden (putusan-putusan terdahulu dari pengadilan)
h.      Peraturan Kerja yang ditetapkan perusahaan
i.        Perjanjian kerja individual
j.        Instruksi oleh majikan/pemberi kerja
k.      Doktrin hukum[4]
C.     Hakikat dan Sifat Hukum Perburuhan
            Hukum ketenagakerjaan dapat bersifat perdata (privat) dan dapat bersifat public. Hukum perdata mengatur kepentingan orang perorang dimana mereka mengadakan suatu perjanjian yang disebut dengan perjanjian kerja. Sedangkan mengenai hukum Perjanjian sendiri terdapat/diatur di dalam kitab Undang-Undang Hukum Perdata Buku ke III.[5]
D.    Subjek dan Hubungan Kerja Hukum Perburuhan
Subjek hukum dalam hubungan kerja pada dasarnya adalah pengusaha/pemberi kerja dengan pekerja/buruh. Undang-undang No. 13 Tahun 2003 memberikan perbedaan pengertian pengusaha, perusahaan, dan pemberi kerja. Subjek hukum yang terkait dalam perjanjian kerja pada dasarnya adalah buruh dan majikan. Subjek hukum mengalami perluasan, yaitu dapat meliputi perkumpulan majikan, gabungan perkumpulan majikan atau APINDO untuk perluasan majikan. Selain itu terdapat serikat pekerja/buruh, gabungan serikat pekerja atau buruh sebagai perluasan dari buruh. Pembahasan mengenai hubungan industrial tidak dapat terlepas dari fungsi atau peran serikat pekerja/serikat buruh dalam rangka meningkatkan produktivitas dan kesejahteraan. Serikat pekerja atau buruh diatur oleh Undang-Undang No. 21 Tahun 2000 tentang serikat pekerja/serikat buruh. Munculnya Undang-Undang ini sebagai hasil reformasi dari hanya diakuinya satu serikat pekerja, SPSI. Setelah adanya Undang-Undang No. 21 Tahun 2000, serikat pekerja/buruh yang sudah terdaftar kurang lebih ada 60. Ini merupakan jumlah terbanyak bagi suatu negara yang mempunyai serikat pekerja/buruh lebih dari satu di seluruh dunia.
Berdasarkan ketentuan pasal 1 angka 3 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003, pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain.
Adapun pengusaha berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 5 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 adalah:
1.      Orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang menjalankan suatu perusahaan milik sendiri.
2.      Orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang secara berdiri sendiri menjalankan perusahaan bukan miliknya.
3.      Orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang berada di Indonesia mewakili perusahaan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan b yang berkedudukan diluar wilayah indonesia.
Batasan pengusaha berbeda dengan pemberi kerja. Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 4 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003, pemberi kerja adalah orang perseorangan, pengusaha, badan hukum, atau badan-badan lainnya yang mempekerjakan tenaga kerja dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain. Adapun perusahaan berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 6 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 adalah:
a.       Setiap bentuk usaha yang berbadan hukum atau tidak, milik orang perseorangan, milik persekutuan, atau milik badan hukum, baik milik swasta maupun milik negara yang mempekerjakan pekerja/buruh dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain.
b.      Usaha-usaha sosial dan usaha-usaha lain yang mempunyai pengurus dan mempekerjakan orang lain.[6]
E.     Perjanjian  Kerja, dan Perselisihan Hukum Perburuhan
Perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih lainnya”. Menurut Abdul Kadir Muhammad, S.H dalam buku nya yang berjudul Hukum Perikatan, antara lain disebutkan bahwa didalam suatu perjanjian termuat beberapa unsur, yaitu :[7]
1.      Ada pihak-pihak
Pihak-pihak yang ada disini paling sedikit harus ada dua orang.
2.      Ada persetujuan antara para pihak
Para pihak sebelum membuat perjanjian diberikan kebebasan untuk saling tawar menawar tanpa paksaan.
3.      Ada tujuan yang akan dicapai
Dalam mencapai satu atau beberapa tujuan tertentu, para pihak terikat bahwa tujuan tersebut tidak boleh bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum.
4.      Ada prestasi yang harus dilaksanakan
5.      Ada bentuk tertentu
Suatu perjanjian dapat dibuat secara lisan maupun tertulis, jika secara tertulis maka dibuat oleh pihak dihadapan seorang pejabat umum yang diberi wewenang untuk itu. Perjanjian Kerja yang dalam bahasa belanda biasa disebut Arbeidsovereenkoms, yang dapat diartikan dalam beberapa pengertian. pengertian pertama disebutkan dalam ketentuan pasal 1601 KHUP Perdata, mengenai perjanjian kerja disebutkan bahwa : “Perjanjian kerja adalah suatu perjanjian dimana pihak yang satu si buruh, mengikatkan dirinya untuk dibawah perintahnya pihak yang lain, si majikan untuk suatu waktu tertentu, melakukan pekerjaan dengan menerima upah ”. Selain itu pengertian mengenai perjanjian kerja ditengahkan oleh seorang pakar Hukum Perburuhan Indonesia yaitu, Bapak Prof .R. Iman Soepono, S.H. yang menerangkan bahwa perihal pengertian tentang perjanjian kerja, beliau mengemukakan bahwa : “Perjanjian kerja adalah suatu perjanjian dimana pihak kesatu , buruh, mengikatkan diri untuk bekerja dengan menerima upah pada pihak lainnya, majikan yang mengikatkan diri untuk mengerjakan buruh itu dengan membayar upah”. Selanjutnya perihal pengertian Perjanjian Kerja, ada lagi pendapat Prof Subekti, S.H. beliau menyatakan dalam bukunya Aneka Perjanjian, disebutkan bahwa perjanjian kerja adalah : “Perjanjian antara seorang “buruh” dengan seorang “majikan” perjanjian mana ditandai dengan ciri ciri ; adanya suatu upah atau gaji tertentu yang diperjanjikan dan adanya suatu hubungan diperatas yaitu suatu hubungan berdasarkan mana pihak yang satu (majikan) berhak memberikan perintah perintah yang harus di taati oleh pihak yang lain. Perihal perjanjian kerja Wiwoho Soedjono, S.H, mengemukakan  bahwa pengertian perjanjian kerja adalah hubungan antara seseorang yang bertindak sebagai pekerja atau buruh dengan seseorang yang bertindak sebagai majikan. Dengan adanya pengertian tentang perjanjian seperti ditentukan diatas, bisa diambil kesimpulan bahwa kedudukan antara para pihak yang mengadakan perjanjian adalah sama dan seimbang. Hal ini akan berlainan dengan pengertian perjanjian kerja.
Perselisihan perburuhan menurut perumusan UU tentang penyelesaian perburuhan adalah pertentangan antara majikan atau sekumpulan majkan dengan serikat buruh atau gabungan serikat buruh dikarenakan tidak adanya persesuaian paham mengenai hubungan kerja, syarat-syarat kerja atau keadan perburuhan (pasal 1 ayat UU no. 22 tahun 1957 tentang penyelesaian perselisihan perburuhan).
Sehubungan dengan perumusan itu maka mengenai perselisihan perburuhan dibedakan antara perselisihan hak (rechtsgescil) dan perselisihan kepentingan (belengengeschil). Dengan perselisihan hak dimaksudkan perselisihan yang timbul karena salah satu pihak pada perjanjian kerja atau perjanjian perburuhan tidak memenuhi isi perjanjian itu atau peraturan majikan ataupun menyalahi ketentuan hukum. Dengan demikian maka mengenai perselisihan hak di bidang perburuhan ada dua badan atau instansi yang berwenang menyelesaikannya, yaitu Pengadilan Negeri dan Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan. Tetapi pada waktu itu ada dua perbedaan yang pokok, yaitu :
1. Yang dapat menuntut di muka P4 hanyalah majikan dan organisasi buruh, tidak juga buruh perselisihan, sedangkan di muka Pengadilan Negeri buruh perseorangan dapat mengajukan tuntutannya.
2. Sanksi putusan Pengadilan Negeri adalah semata-mata sanksi perdata, sedang pihak yang tidak tunduk pada putusan Panitia Penyelenggara Perselisihan Perburuhan dapat pula dikenakan pidana kurungan selama-lamanya tiga bulan atau setinggi-tingginya sepuluh ribu rupaih.
Perselisihan kepentingan adalah mengenai usaha mengadakan perburuhan dalam syarat-syarat perburuhan yang oleh organisasi buruh dituntutkan kepada pihak majikan atau menurut perumusan di atas “pertentangan berhubungan dengan tidak adanya penyesuaian paham mengenai syarat-syarat kerja dan atau keadaan perburuhan”. Perselisihan kepentingan ini hanya dapat diajukan kepada P4, tidak lupa juga kepada Pengadilan Negeri.
Dari rumusan pengertian tersebut di atas juga memajukan bahwa UU No. 22/1957 hanya mengatur penyelesaian perselisihan antara serikat pekerja/buruh yang tidak menjadi anggota serikat pekerja/buruh dengan pengusaha/majikan tidak mendapat perlindungan dari UU No. 22/1957 tersebut. Di satu pihak ketentuan ini mengarahkan agar semua buruh menjadi anggota suatu serikat buruh sehingga menghindarkan tuntutan-tuntutan yang kurang beralasan bagi buruh-buruh perorangan, di lain pihak ini dapat merugikan pihak buruh mengingat di Indonesia ini buruh-buruhnya masih banyak yang belum berserikat minded. Untuk mengatasi hal ini maka diharapkan adanya suatu kebijaksanaan yang ini seharusnya ditampung dalam suatu ketentuan dalam UU (hukum acara) yang memberikan hak kepada buruh perorangan mengajukan tuntutan melalui saluran-saluran tertentu.[8]



[1]Mr. L.J.Van Apeldorn, Pengantar Ilmu Hukum, PT Pradnya Pramita; (Jakarta : 1996)
 hal 367
[2]Titik Triwulan Tutik S.H, M.H, Pengantar Prestasi, pustakarya(Jakarta : 2006) hal 207
[3]Http://situs-aku.blogspot.com/2012/01/makalah-tenaga-kerja.html
[4]Cristine S.T.Kansil, S.H., M.H, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia Jilid II, PT (Persero)penerbitan dan percetakan balai pustaka( Jakarta ; 2003) hal 145
[5]Ibid, hal 146
[6]Ibid, hal 147
[7]Hartono Hadisoeprapto, S.H, Pengantar tata hukum indonesia, Liberty Yogyakarta (Yogyakarta ; 1999) hal 187
[8]http://social-pajak.blogspot.com/2008/04/penyelesaian-perselisihan-perburuhan.html

DAFTAR PUSTAKA
Buku
Cristine S.T.Kansil, S.H., M.H, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia Jilid II, jakarta: PT (Persero) penerbitan dan percetakan balai pustaka, 2003
Hartono Hadisoeprapto, S.H, Pengantar tata hukum indonesia, Yogyakarta: Liberty Yogyakarta,1999
Mr. L.J.Van Apeldorn, Pengantar Ilmu Hukum, jakarta: PT Pradnya Pramita, 1996
Triwulan Tutik S.H, M.H, Pengantar Prestasi, Jakarta: pustakarya, 2006

Browsing Internet
Http://situs-aku.blogspot.com/2012/01/makalah-tenaga-kerja.html (Diunduh tanggal 10 april 2014. Pukul 16:52) 

Minggu, 18 Mei 2014

Ekonomi Mikro Islam

Makalah Kelompok  I

KONSUMSI DALAM ISLAM

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas
Mata Kuliah : Ekonomi Mikro Islam
Dosen  Pembina : 

Disusun Oleh
FITRIYAH PRAMITASARI
NORLIANI AULIA


SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI PALANGKARAYA
JURUSAN SYARI’AH PROGRAM STUDI EKONOMI SYARI’AH 
TAHUN AJARAN 




Kata Pengantar
Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena berkat rahmat dan karunia-Nya kami dapat menyelesaikan tugas makalah ini. Makalah ini disusun sedemikian rupa agar dapat melengkapi tugas yang diberikan oleh Bapak Dosen Ekonomi Mikro Islam . Shalawat dan salam semoga terlimpahkan kepada Baginda Besar Muhammad SAW karena beliau telah membawa kita dari zaman jahiliah menuju ke zaman yang modern ini.
Dalam pembuatan makalah ini penulis sadar bahwa masih ada kekurangan baik dalam kata maupun cara penulisan, oleh karena itu kritik dan saran yang membangun kami terima dengan terbuka karena merupakan anugerah untuk memperbaiki dan mengembangkan makalah ini di masa mendatang.





BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Konsumsi umumnya didefinisikan sebagai pemakaian barang-barang  hasil
industri (pakaian, makanan dan sebagainya), atau barang-barang yang langsung memenuhi keperluan ki`ta.  Barang-barang seperti ini disebut sebagai barang konsumsi.  Kata yang berhubungan dengan konsusmsi dalam Al-Qur’an dan Hadits, adalah makanan (al-ukul), yang mencakup juga di dalamnya minuman (asy-syarab). Serta hal-hal lainnya seperti pakaian (al-kiswan) dan perhiasan, seperti tercantum di dalam surat Al- A’raaf ayat 31-32:

Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) masjid, makanlah dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan. Katakanlah: ‘Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah dikeluarkan-Nya untuk hamba-hamba_Nya dan (siapa pulakah yang mengharamkan) rezeki yang baik?’ Katakanlah: ‘Semuanya itu (disediakan) bagi orang-orang yang beriman dalam kehidupan dunia, khusus (untuk mereka saja) di hari kiamat. Demikianlah Kami menjelaskan ayat-ayat itu bagi orang-orang yang mengetahui.”
Konsumsi merupakan bagian akhir dan sangat penting dalam pengolahan kekayaan. Sehingga harus  dimanfaatkan sebaik-baiknya untuk hal-hal yang penting.  Dengan demikian cara penggunaan kekayaan (konsumsi) harus diarahkan pada pilihan-pilihan yang baik dan tepat agar dapat dimanfaatkan pada jalan yang terbaik.

B.     Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian dan tujuan dari konsumsi dalam islam?
2.      Apa saja prinsip – prinsip dan dari konsumsi dalam islam ?
3.      Apa saja manfaat dalam konsumsi dalam islam ?
4.      Bagaimana prinsip-prinsip dalam perilaku konsumsi dalam islam ?
C.     Tujuan Penulisan
1.      Untuk mengetahui apa itu konsumsi dalam islam.
2.      Untuk mengetahui prinsip – prinsip konsumsi dalam islam.
3.      Untuk mengetahui manfaat dari konsumsi dalam islam
4.      Untuk mengetahui perilaku konsumsi dalam islam.
D.    Metode Penelitian
Metode yang di gunakan dalam makalah ini adalah perpustakaan.


Bab II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Konsumsi Dalam Islam
Pengertian konsumsi secara umum diformulasikan dengan: ”Pemakaian dan penggunaan barang – barang dan jasa, seperti pakaian, makanan, minuman, rumah, peralatan rumah tangga, kenderaan, alat-alat hiburan, media cetak dan elektronik, jasa telephon, jasa konsultasi hukum, belajar/ kursus, dan sebagainya”. Sedangkan Konsumsi Islam Menurut Imam Al-Ghazali kebutuhan (hajat) adalah keinginan manusia untuk mendapatkan sesuatu yang diperlukan dalam rangka mempertahankan kelangsungan hidupnya dan menjalankan fungsinya. Kita melihat misalnya dalam hal kebutuhan akan makanan dan pakaian. Kebutuhan makanan adalah untuk menolak kelaparan dan melangsungkan kehidupan, kebutuhan pakaian untuk menolak panas dan dingin.
Tujuan konsumsi dalam Islam adalah untuk mewujudkan maslahah duniawi dan ukhrawi. Maslahah duniawi ialah terpenuhinya kebutuhan dasar manusia, seperti makanan, minuman, pakaian, perumahan, kesehatan, pendidikan (akal). Kemaslahatan akhirat ialah terlaksanaya kewajiban agama seperti shalat dan haji. Artinya, manusia makan dan minum agar bisa beribadah kepada Allah. Manusia berpakaian untuk menutup aurat agar bisa shalat, haji, bergaul sosial dan terhindar dari perbuatan mesum (nasab).[1]
B.     Prinsip-Prinsip Konsumsi dalam islam
Dalam ekonomi Islam, konsumsi diakui sebagai salah satu perilaku ekonomi
dan kebutuhan asasi dalam kehidupan manusia. Perilaku konsumsi diartikan sebagai setiap perilaku seorang konsumen untuk menggunakan dan memanfaatkan barang dan jasa untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Namun Islam memberikan penekanan bahwa fungsi perilaku konsumsi adalah untuk memenuhi kebutuhan manusia baik jasmani dan ruhani sehingga mampu memaksimalkan fungsi kemanusiaannya sebagai hamba dan khalifah Allah untuk mendapatkan kebahagiaan dunia dan akherat.kebahagiaan dunia dan akherat. [2]
     Menurut Abdul Mannan, dalam melakukan konsumsi terdapat lima prinsip dasar, yaitu: [3]
1. Prinsip Keadilan
Prinsip ini mengandung arti ganda mengenai mencari rizki yang halal dan tidak dilarang hukum. Artinya, sesuatu yang dikonsumsi itu didapatkan secara halal dan tidak bertentangan dengan hukum. Berkonsumsi tidak boleh menimbulkan kedzaliman, berada dalam koridor aturan atau hukum agama, serta menjunjung tinggi kepantasan atau kebaikan. Islam memiliki berbagai ketentuan tentang benda ekonomi yang boleh dikonsumsi dan yang tidak boleh dikonsumsi. “Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi” (Qs al-Baqarah,2 : 169). Keadilan yang dimaksud adalah mengkonsumsi sesuatu yang halal (tidak haram) dan baik (tidak membahayakan tubuh). Kelonggaran diberikan bagi orang yang terpaksa, dan bagi orang yang suatu ketika tidak mempunyai makanan untuk dimakan.  Ia boleh memakan makanan yang terlarang itu sekedar yang dianggap perlu untuk kebutuhannya ketika itu saja.
2.    Prinsip Kebersihan
Bersih dalam arti sempit adalah bebas dari kotoran atau penyakit yang dapat merusak fisik dan mental manusia, misalnya: makanan harus baik dan cocok untuk dimakan, tidak kotor ataupun menjijikkan sehingga merusak selera. Sementara dalam arti luas adalah bebas dari segala sesuatu yang diberkahi Allah. Tentu saja benda yang dikonsumsi memiliki manfaat bukan kemubaziran atau bahkan merusak.
“Makanan diberkahi jika kita mencuci tangan sebelum dan setelah memakannya” (HR Tarmidzi).  Prinsip kebersihan ini bermakna makanan yang dimakan harus baik, tidak kotor dan menjijikkan sehingga merusak selera.  Nabi juga mengajarkan agar tidak meniup makanan: ”Bila salah seorang dari kalian minum, janganlah meniup ke dalam gelas” (HR Bukhari).
3.    Prinsip Kesederhanaan
Sikap berlebih-lebihan (israf) sangat dibenci oleh Allah dan merupakan pangkal dari berbagai kerusakan di muka bumi. Sikap berlebih-lebihan ini mengandung makna melebihi dari kebutuhan yang wajar dan cenderung memperturutkan hawa nafsu atau sebaliknya terlampau kikir sehingga justru menyiksa diri sendiri. Islam menghendaki suatu kuantitas dan kualitas konsumsi yang wajar bagi kebutuhan manusia sehingga tercipta pola konsumsi yang efesien dan efektif secara individual maupun sosial.
“Makan dan minumlah, tapi jangan berlebihan; Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan” (Qs al-A’raf, 7: 31). Arti penting ayat-ayat ini adalah bahwa kurang makan dapat mempengaruhi jiwa dan tubuh, demikian pula bila perut diisi dengan berlebih-lebihan tentu akan berpengaruh pada perut.
4.    Prinsip Kemurahan hati.
Allah dengan kemurahan hati-Nya menyediakan makanan dan minuman untuk manusia (Qs al-Maidah, 5: 96).  Maka sifat konsumsi manusia juga harus dilandasi dengan kemurahan hati.  Maksudnya, jika memang masih banyak orang yang kekurangan makanan dan minuman maka hendaklah kita sisihkan makanan yang ada pada kita, kemudian kita berikan kepada mereka yang sangat membutuhkannya.
Dengan mentaati ajaran Islam maka tidak ada bahaya atau dosa ketika mengkonsumsi benda-benda ekonomi yang halal yang disediakan Allah karena kemurahan-Nya. Selama konsumsi ini merupakan upaya pemenuhan kebutuhan yang membawa kemanfaatan bagi kehidupan dan peran manusia untuk meningkatkan ketaqwaan kepada Allah maka Allah elah memberikan anugrah-Nya bagi manusia.
5.      Prinsip Moralitas.
Pada akhirnya konsumsi seorang muslim secara keseluruhan harus
dibingkai oleh moralitas yang dikandung dalam Islam sehingga tidak semata – mata memenuhi segala kebutuhan. Allah memberikan makanan dan minuman untuk keberlangsungan hidup umat manusia agar dapat meningkatkan nilai-nilai moral dan spiritual.  Seorang muslim diajarkan untuk menyebut nama Allah sebelum makan dan menyatakan terimakasih setelah makan.
C.     Manfaat
Pada dasarnya manfaat dan mudarat sebuah barang atau jasa adalah semu
bukan hakiki karena sangat dipengaruhi oleh waktu dan tempat juga konsumen sendiri, boleh jadi bermanfaat bagi seseorang namun mudarat bagi orang lain. Dalam Islam eksploitasi manfaat diharuskan proporsional dan profesional. Islam menganjurkan untuk memanfaatkan barang dan jasa semaksimal mungkin namun pendayagunaan tersebut harus sejalan dengan kondisi dan keadaan barang dan jasa yang diambil manfaatnya. Sehingga tidak menyebabkan kerusakan atau pencemaran lingkungan atau kerugian pihak lain. Karena tidak jarang orang yang terlalu berfikir ekonomis, bahkan ia tidak mau menyisakan sedikitpun peluang untuk tidak ia gunakan.[4]
D.    Prinsip – Prinsip dasar perilaku konsumsi dalam islam
Prinsip ini menuntut adanya perkiraan dan pengetahuan mengenai akibat yang dilakukan. Prinsip ini mendorong konsumen untuk memaksimalkan nilai guna dengan usaha yang paling minimal dengan melupakan nilai-nilai kemanusian. Akibatnya tercipta individualisme dan self interest. Maka keseimbangan umum tidak dapat dicapai dan terjadilah kerusakan dimuka bumi. [5]
Perilaku konsumen Islami didasarkan atas rasionalitas yang disempurnakan dan mengintegrasikan keyakinan dan kebenaran yang melampaui rasionalitas manusia yang sangat terbatas berdasarkan Alquran dan Sunnah. Islam memberikan konsep pemuasan kebutuhan dibarengi kekuatan moral, ketiadaan tekanan batin dan adanya keharmonisan hubungan antara sesama.[6]
Dapat kita simpulkan prinsip dasar perilaku konsumen Islami diantaranya:[7]
A.    Prinsip syariah, yaitu menyangkut dasar syariat yang harus terpenuhi
dalam melakukan konsumsi di mana terdiri dari: Prinsip akidah, yaitu hakikat konsumsi adalah sebagai sarana untuk ketaatan untuk beribadah sebagai perwujudan keyakinan manusia sebagai makhluk dan khalifah yang nantinya diminta pertanggungjawaban oleh Pencipta. (QS. Al-An’am : 165). Prinsip ilmu, yaitu seseorang ketika akan mengkonsumsi harus mengetahui ilmu tentang barang yang akan dikonsumsi dan hukum-hukum yang berkaitan dengannya apakah merupakan sesuatu yang halal atau haram baik ditinjau dari zat, proses, maupun tujuannya. Prinsip amaliah, sebagai konsekuensi akidah dan ilmu yang telah diketahui tentang konsumsi Islami tersebut, seseorang dituntut untuk menjalankan apa yang sudah diketahui, maka dia akan mengkonsumsi hanya yang halal serta menjauhi yang haram dan syubhat.
B.     Prinsip kuantitas, yaitu sesuai dengan batas-batas kuantitas yang telah
dijelaskan dalam syariat Islam, di antaranya: Sederhana, yaitu mengkonsumsi secara proporsional tanpa menghamburkan harta, bermewah-mewah, mubazir, namun tidak juga pelit (QS. Al-Isra: 27-29, Al-A’raf:31).Sesuai antara pemasukan dan pengeluaran, artinya dalam mengkonsumsi harus disesuaikan dengan kemampuan yang dimilikinya, bukan besar pasak daripada tiang. Menabung dan investasi, artinya tidak semua kekayaan digunakan untuk konsumsi tapi juga disimpan untuk kepentingan pengembangan kekayaan itu sendiri.
C.     Prinsip prioritas, di mana memperhatikan urutan kepentingan yang harus
diprioritaskan agar tidak terjadi kemudharatan, yaitu: Primer, adalah konsumsi dasar yang harus terpenuhi agar manusia dapat hidup dan menegakkan kemaslahatan dirinya dunia dan agamanya serta orang terdekatnya, seperti makanan pokok. Sekunder, yaitu konsumsi untuk menambah/meningkatkan tingkat kualitas hidup yang lebih baik, jika tidak terpenuhi maka manusia akan mengalami kesusahan. Tersier, yaitu konsumsi pelengkap manusia. 

D.    Prinsip sosial, yaitu memperhatikan lingkungan sosial di sekitarnya
sehingga tercipta keharmonisan hidup dalam masyarakat, di antaranya: Kepentingan umat, yaitu saling menanggung dan menolong sehingga Islam   mewajibkan zakat bagi yang mampu juga menganjurkan sadaqah, infaq dan wakaf. Keteladanan, yaitu memberikan contoh yang baik dalam berkonsumsi  baik dalm keluarga atau masyarakat . Tidak membahayakan orang yaitu dalam mengkonsumsi justru tidak merugikan dan memberikan madharat ke orang lain seperti merokok.
E.     Kaidah lingkungan, yaitu dalam mengkonsumsi harus sesuai dengan
kondisi potensi daya dukung sumber daya atam dan kebertanjutannya atau tidak merusak lingkungan .




BAB III
PENUTUP

Kesimpulan 
         Teori perilaku konsumen yang dibangun berdasarkan syari'ah islam, memiliki perbedaan yang mendasar dengan teori konvensional. Perbedaan ini menyangkut nilai dasar yang menjadikan fondasi teori, motif dan tujuan konsumsi hingga teknik pilihan dan alokasi anggaran untuk berkonsumsi 
              Ada tiga nilai dasar yang menjadi fondasi bagi perilaku konsumsi masyarakat muslim :
a.       Keyakinan akan adanya hari kiamat dan kehidupan akhirat, prinsip ini mengarahkan seorang konsumen untuk mengutamakan konsumsi untuk akhirat daripada dunia. Mengutamakan konsumsi untuk ibadah daripada konsumsi duniawi. Konsumsi untuk ibadah merupakan future consumption (karena terdapat balasan surga di akherat), sedangkan konsumsi duniawi adalah present consumption.
b.      Konsep sukses dalam kehidupan seorang muslim diukur dengan moral agama Islam, dan bukan dengan jumlah kekayaan yang dimiliki. Semakin tinggi moralitas semakin tinggi pula kesuksesan yang dicapai. Kebajikan, kebenaran dan ketaqwaan kepada Allah merupakan kunci moralitas Islam. Kebajikan dan kebenaran dapat dicapai dengan prilaku yang baik dan bermanfaat bagi kehidupan dan menjauhkan diri dari kejahatan.
c.       Kedudukan harta merupakan anugrah Allah dan bukan sesuatu yang dengan sendirinya bersifat buruk (sehingga harus dijauhi secara berlebihan). Harta merupakan alat untuk mencapai tujuan hidup, jika diusahakan dan dimanfaatkan dengan benar.












[1]  Akmal Tarigan, et al. Dasar-dasar Ekonomi Islam, (Bandung: Citapustaka Media, 2006), hlm. 263.
[2] M.A. Mannan, Teori dan Praktek Ekonomi Islam, (Yogyakarta: Dana Bhakti Prima Yasa, 1997), hlm. 44.
[3] Ibid., hlm. 45.
[4] Rafiq Yunus al-Misri, Ushûl al-Iqtishâd….. hal. 186-187
[5] Edwin Nasution, et. Al, Pengenalan Ekslusif Ekonomi Islam, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, cet.III , 2010, hal. 61
[6] Mustafa Edwin Nasution, et. Al, Pengenalan Ekslusif op.cit,  hal. 60
[7] Arif Priyono, Teori Konsumsi Islam. Dikutip dari, Jaribah bin Ahmad Al-Haritsi, Al-Fiqh AI-Iqtishâdi Li Amîril Mukmiîin Umar Ibn Al-Khaththâb, diterjemahkan oleh Asmuni Solihan Zamalchsyari, Fikih Ekonomi Umar bin AI-Kaththab, Khalifa , Jakarta. Lihat: Rafiq Yunus al-Misri, Ushûl al-Iqtishâd al-Islâmî, Dâr al-Qalam, Damasqus, Cet. I, 2010, hal. 182-185