Sabtu, 07 Juni 2014

Surat-Surat Berharga Komersial

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Dalam dunia perusahaan dan perdagangan, orang menginginkan segala sesuatunya bersifat praktis dan aman, khususnya dalam lalu lintas pembayaran, artinya orang tidak mutlak lagi menggunkan alat pembayaran berupa uang, melainkan cukup dengan menerbitkan surat berharga baik sebagai alat pembayaran kontan maupun sebagai alat pembayaran kredit.
Surat berharga sebagai alat pembayaran yang praktis artinya dalam setiap transaksi, para pihak tidak perlu membawa mata uang dalam jumlah besar sebagai alat pembayaran, melainkan dengan cukup hanya mengantongi surat berharga saja. Kemudian pengertian aman adalah tidak setiap orang yang tidak berhak dapat menggunakan surat berharga, karena pembayaran dengan surat berharga memerlukan cara-cara tertentu. Sedangkan jika menggunakan mata uang, apalagi dalam jumlah besar, banyak sekali kemungkinannya timbul bahaya atau kerugian, misalnya pencurian, penggarongan, perampokan dan lain-lain.
Pada umumnya banyak orang mengenal bermacam-macam surat yang kemudian dikatakan itu surat berharga. Orang mengatakan itu surat berharga berdasarkan kenyataan bahwa surat itu mempunyai nilai uang atau dapat ditukar dengan sejumlah uang. Pengertian orang tentang surat berharga tersebut, sebenarnya tidak tepat. Karena yang dimaksud dengan surat berharga dalam pengertian hukum bisnis tidaklah demikian. Supaya dapat dikatakan surat berharga menurut pengertian hukum bisnis, perlu dipenuhi syarat-syarat tertentu yang merupakan ciri surat berharga.
Untuk menuju kepada pengertian surat berharga yang menjadi objek pembahasan, seperti yang diatur dalam KUHD, terlebih dahulu perlu dibedakan dua surat, yaitu :
1.         Surat berharga, terjemahan dari istilah aslinya dalam bahasa Belanda, “waarde papier” di Negara Anglo Saxon dikenal dengan isitlah “negotiable instruments”
2.         Surat yang mempunyai harga atau nilai (surat yang berharga), terjemahan dari istilah aslinya dalam bahasa Belanda “papier van waarde” dalam bahasa Inggrisnya “letter of value”
B.     Rumusan Masalah
1.         Apa pengertian dari surat-surat berharga kormensial ?
2.         Sebutkan fungsi dan jenis-jenis dari surat-surat berharga kormensial?
3.         Apa saja ciri-ciri dari surat-surat berharga kormensial?
C.     Tujuan Penulisan
1.         Untuk mengetahui pengertian dari surat-surat berharga kormensial.
2.         Untuk mengetahui fungsi dan jenis-jenis dari surat-surat berharga kormensial.
3.         Untuk mengetahui ciri-ciri dari surat-surat berharga kormensial.
D.    Metode Penelitian
Adapun metode yang digunakan dalam makalah ini adalah:
1.      Metode Kepustakaan
2.      Metode Telusur Internet

BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Surat berharga kormensial .
Istilah surat berharga ini dalam bahasa Belanda disebut waarde-papier, sedangkan dalam bahasa inggris disebut negotiable instrument. H.M.N. purwosutjipto, S.H. berpendapat bahwa surat berharga adalah surat bukti tuntutan utang, pembawa hak, dan mudah dijual belikan.
Dalam pengertian  lain, Munir Fuady merumuskan bahwa surat-surat berharga (negotiable instrumen) adalah sebuah dokumen yang diterbitkan oleh penerbitnya sebagai suatu pemenuhan suatu prestasi berupa pembayaran sejumlah uang  sehingga berfungsi sebagai alat pembayaran yang didalamnya berisikan suatu perintah untuk membayar kepada pihak-pihak yang memegang surat tersebut.
Surat Berharga adalah surat pengakuan utang, wesel, saham, obligasi, sekuritas kredit, atau setiap derivatifnya, atau kepentingan lain, atau suatu kewajiban dari penerbit, dalam bentuk yang lazim diperdagangkan dalam pasar modal dan pasar uang.[1]
Surat berharga komersial atau Commercial paper  adalah sekuritas dalam pasar uang yang diterbitkan oleh bank berkapitalisasi besar serta perusahaan. Biasanya instrumen ini tidak digunakan sebagai investasi jangka panjang melainkan hanya sebagai pembelian inventaris atau untuk pengelolaan modal kerja. Dimana biasanya pula instrumen ini dibeli oleh lembaga keuangan karena nilai nominalnya terlalu besar bagi investor perorangan, dan termasuk dalam kategori investasi yang sangat aman sehingga imbal hasil dari surat berharga komersial ini juga rendah. Ada empat macam bentuk dasar dari surat berharga komersial ini yaitu :

a.       Surat sanggup bayar
Surat sanggup adalah surat berharga yang memuat kata "aksep” atau Promes dalam mana penerbit menyanggupi untuk membayar sejumlah yang kepada orang yang disebut dalam surat sanggup itu atau penggantinya atau pembawanya pada hari bayar. Surat sanggup mirip dengan surat wesel, tetapi berapa syarat pada surat wesel tidak berlaku pada surat sanggup, perbedaannya dengan surat wesel adalah :
1)      Surat sanggup tidak mempunyai tersangkut;
2)      Penerbit dalam surat sanggup tidak memberi perintah untuk membayar, tetapi menyanggupi untuk membayar;
3)      Penerbit surat sanggup tidak menjadi debitur regres, tetapi debitur surat sanggup;
4)      Penerbit tidak menjamin seperti pada penerbit wesel, tetapi melakukan
5)      pembayaran sendiri sebagai debitur surat sanggup.
6)      Penerbit surat sanggup merangkap kedudukan sebagai akseptan pada wesel yaitu mengikatkan diri untuk membayar.[2]
b.      Cek
Istilah cek berasal dari bahasa inggris, cheque yang berarti mencocokkan, dalam pengertian itu juga meliputi serta memperlihatkan. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, cek adalah perintah tertulis pemegang rekening kepada bank yang ditunjuknya supaya membayar sejumlah uang pemegangnya.
Adapun menurut undang-undang No. 10 Tahun 1998, cek adalah salah satu cara untuk melakukan penarikan terhadap simpanan dalam bentuk giro yang dapat dilakukan setap saat.[3]
Menurut ketentuan pasal 178 kitab undang-undang Hukum dagang, setiap surat cek harus memuat persyaratan sebagai berikut:
a.        Nama cek dimuatkan dalam teksnya sendiri dan di Istilahkan dalam bahasa cek itu ditulisnya.
b.      Perintah tak bersyarat untuk membayar sejumlah uang tertentu.
c.       Nama orang yang harus membayarnya (tertarik).
d.      Penetapan tempat dimana pembayaran harus dilakukan.
e.       Tanggal dan tempat cek ditariknya.
f.       Tanda tangan yang orang mengeluarkan cek itu (penarik)

c.       Deposito
Secara umum di Indonesia, deposito identik dengan simpanan deposito berjangka atau time deposit. Deposito adalah produk bank yang memberikan bunga lebih tinggi dari simpanan  biasa, bila anda menyimpan uang tersebut dengan jangka waktu  tertentu. Simpanan deposito hanya bisa ditarik setelah jangka waktu tertentu.
Deposito atau yang sering juga disebut sebagai deposito berjangka, merupakan produk bank sejenis jasa tabungan yang biasa ditawarkan kepada masyarakat. Dana dalam deposito dijamin oleh pemerintah melalui Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) dengan persyaratan tertentu.
Deposito biasanya memiliki jangka waktu tertentu di mana uang di dalamnya tidak boleh ditarik nasabah. Deposito baru bisa dicairkan sesuai dengan tanggal jatuh temponya, biasanya deposito mempunyai jatuh tempo 1, 3, 6, atau 12 bulan. Bila deposito dicairkan sebelum tanggal jatuh tempo, maka akan kena penalti.[4]

d.      Wesel
Sebab jatuh tempo dari surat berharga komersial ini tidak melebihi 9 bulan serta penggunaannya hanya untuk keperluan pembayaran transaksi maka surat berharga komersial ini dikecualikan dari kewajiban pendaftaran sebagai surat berharga yang dapat di perdagangkan oleh komisi pengawas bursa efek Amerika (Securities and Exchange Commission-SEC).[5]
Surat berharga komersial ini di Kanada didefinisikan sebagai efek yang memiliki masa jatuh tempo tidak melebihi 1 tahun dan oleh karenanya dikecualikan dari kewajiban pendaftaran serta penerbitan prospektus.
Apabila suatu  usaha telah sedemikian besarnya dan memiliki peringkat kredit yang tinggi maka penggunaan surat berharga komersial ini sebagai sumber pembiayaan akan lebih murah daripada menggunakan sumber pembiayaan dari pinjaman bank. Sehingga surat berharga ini dapat dianggap alternatif sumber pembiayaan selain bank. Namun demikian banyak perusahaan tetap mengambil fasilitas kredit sebagai perlindungan atas surat berharga komersial yang diterbitkannya. Dalam keadaan demikian, bank sering kali mengenakan biaya atas fasilitas kredit tersebut walaupun kenyataannya dana kredit tersebut belum digunakan. Walaupun imbalan ini nampaknya suatu keuntungan bagi bank namun apabila perusahaan tersebut menggunakan fasilitas kredit tersebut guna membayar surat berharga komersialnya yang jatuh tempo maka seringkali perusahaan tersebut akan sulit mengembalikan kredit yang diambilnya.
Pada saat ini lebih dari 1.700 perusahaan di Amerika yang menerbitkan surat berharga komersial ini dimana lembaga keuangan merupakan penerbit yang terbesar dimana berdasarkan data tahun 1990 lembaga keuangan ini menerbitkan 75 % surat berharga komersial yang beredar dan sisanya 25% adalah diterbitkan oleh perusahaan yang bergerak di bidang pabrikan, utilitas publik, industrial dan industri jasa.



e.       Bilyet Giro
Istilah bilyrt giro berasal dari bahasa belanda. “Bilyet” yang berarti surat, dan “giro” berarti simpanan nasabah bank yang pengambilannya dapat dilakukan setiap saat dengan menggunakan cek atau dengan pemindah bukuan.
Menurut Abdul kadir Muhammad, bilyet giro adalah surat pemindahbukuan sejumlah dana, pemindah bukuan yang mana berfungsi sebagai pembayaran. Dari berbagai pengertian tentang bilyet giro diatas dapat dikemukakan bahwa dalam pengertian bilyat giro tersebut mengandung unsur-unsur sebagai berikut:
1)      Surat perintah.
2)      Dari nasabah penyimpanan kepada bank.
3)     Pemindah bukuan sejumlah uang dari rekening yang bersangkutan.
4)     Sejumlah uang yang tersebut kepada penerima yang disebutkan namanya.

B.     Fungsi Surat Berharga
Fungsi pokok suatu surat berharga adalah sebagai alat pembayaran, yang kedudukannya menggantikan uang. Selain itu surat berharga juga mempunyai fungsi:
1)      Sebagai bukti surat hak tagih
2)      Alat memindahkan hak tagih
3)      Alat pembayaran
4)      Pembawa hak
5)      Sebagai alat memindahkan hak tagih diperjual belikan dengan mudah dan sederhana[6]



C.     Jenis-Jenis surat berharga komersil
Surat-surat berharga yang dibeli didebitkan dalam rekening surat-surat berharga dengan jumlah sebesar harga perolehannya. Harga perolehan surat berharga adalah harga kurs ditambah komisi, provisi, materai dan biaya-biaya lain yang timbul pada saat  pembelian. Dengan kata lain harga perolehan adalah harga beli ditambah semua biaya pembelian. Apabila surat berharga yang dibeli berupa obligasi dan pembeliannya dilakukan tidak pada tanggal pembayaran bunga, maka timbul masalah bunga berjalanya itu bunga yang dibayarkan oleh pembeli untuk jangka waktu tanggal bunga terakhir sampai tanggal pembelian. Bunga berjalan ini tidak termasuk dalam harga perolehan obligasi tetapi dicatat sendiri. Ada dua rekening yang dapat didebit untuk mencatat pembayaran bunga berjalan, yaitu rekening pendapatan bunga atau rekening piutang pendapatan bunga. Pemilihan salah satu rekening diatasakan berakibat pada pencatatan bunga yang diterima pertama kali.
Penjualan surat-surat berharga akan menimbulkan laba atau rugi jika harga jual tidak sama dengan harga perolehannya. Dalam hal obligasi, seperti pada waktu membeli maka pada waktu penjualannya juga timbul masalah bunga berjalan. Berikut ini adalah contoh pencatatan surat-surat berharga:
1)      Obligasi
        Pada tanggal 1 Agustus 2006 dibeli 10 lembar obligasi PT. Wibawa yang nominal per lembar sebesarRp 50.000,00 dengan kurs 101. Obligasi ini berbunga 12% setahun dan dibayarkan setiap tanggal 1 Mei dan 1 November. Pada saat pembelian dibayar provisi dan materai sebesar Rp 5.000,00. Tanggal 1 Desember 2006, seluruh obligasi PT. Wibawa dijual dengan kurs 102, biaya penjualan sebesarRp 3.000,00.[7]
a)      Jenis obligasi berdasarkan issuernya
1.      Obligasi pemerintah
2.      Obligasi perusahaan milik Negara 
Contoh penerbit obligasinya adalah: BTN, Bapindo, PLN, Jasa Marga, Pegadaian, Pelabuhan Indonesia, dll.

3.      Obligasi perusahaan swasta
Contoh penerbit obligasinya adalah : Astra Intl., BII, CMNP, Ciputra Development, Tjiwi Kimia, dll.


b)      Jenis obligasi berdasarkan sistim pembayaran bunga
a.       Coupon Bond
Obligasi yang bunganya dibayarkan secara periodic (triwulan, semesteran, tahunan).

b.      Zero Coupon Bond
Obligasi yang tidak mempunyai kupon. Investor tidak menerima bunga secara periodik, tetapi bunga dibayarkan sekaligus pada saat pembelian.



c)      Jenis obligasi berdasarkan tingkat bunga
a.       Obligasi dengan bunga tetap (fixed rate bond)
Bunga pada obligasi ini ditetapkan pada awal penjualan obligasi dan tidak berubah sampai jatuh tempo.

b.      Obligasi dengan bunga mengambang (floating rate bond)
Biasanya obligasi dengan bunga mengambang ini ditentukan relatif terhadap suatu patokan suku bunga.

c.       Obligasi dengan bunga campuran (mixed rate bond)
Obligasi jenis ini merupakan gabungan dari obligasi dengan bunga tetap dan dengan bunga mengambang.



d)     Jenis obligasi berdasarkan jaminannya
a.       Secured Bond (obligasi dengan jaminan)
Biasanya berupa adanya guarantor atau jaminan berupa aktiva tetap.

b.      Unsecured Bond (obligasi tanpa jaminan)/ Debentures


e)      Jenis obligasi berdasarkan tempat penerbitannya/tempat perdagangan
a.       Domestic Bond (obligasi domestik)
b.      Foreign Bond (obligasi asing)
c.       Global Bond


f)       Jenis obligasi berdasarkan rating
a.       Investment Grade Bond
b.      Non Investment Grade Bond
Obligasi ini sering disebut Junk Bond karena memberikan tingkat bunga yang lebih tinggi.

g)      Jenis obligasi berdasarkan Callable Feature
a.       Freely Callable Bond
Obligasi yang dapat dibeli kembali oleh penerbitnya sebelum obligasi tersebut jatuh tempo.

b.      Non Callable Bond
Penerbit obligasi ini tidak dapat membeli kembali obligasi yang diterbitkannya sebelum obligasi tersebut jatuh tempo.

c.       Deferred Callable Bond
Obligasi ini merupakan kombinasi antara freely callable bond dengan noncallable bond.



h)      Jenis obligasi berdasarkan Sifat Convertible
a.         Convertible Bond/ Exchangable Bond (obligasi konversi)
Obligasi jenis ini dapat ditukarkan dengan saham, baik saham penerbit obligasi sendiri (convertible bond) maupun saham perseroan lain yang dimiliki penerbit obligasi (exchangable bond).

b.         Non-Convertible Bond (obligasi non konversi)
Obligasi ini merupakan obligasi yang tidak dapat dikonversi menjadi saham.



2)      Saham
Misalnya pada tanggal 1 Agustus 2006 dibeli 100 saham  preferen (prioritas) 14% dari PT. Cendrawasih, nominal Rp 10.000,00 per lembar dengan kurs 104. Provisi dan meterai yang dibayar sebesar Rp 5.000,00. Dividen dibayarkan setiap akhir tahun. Pada tanggal 15 Februari 2007 saham-saham tersebut dijual kembali dengan kurs 108 dengan biaya penjualan Rp 4.000,00.
Pembelian saham dicatat dalam rekening surat berharga dengan jumlah sebesar harga perolehanya itu harga kurs ditambah biaya-biaya pembelian yang terdiri dari komisi, provisi dan meterai.
Kadang-kadang investasi surat-surat berharga dilakukan dengan beberapa kali pembelian dimana masing-masing pembelian harga perolehannya berbeda-beda. Perbedaan harga perolehan ini akan menimbulkan masalah menentukan besarnya laba atau rugi pada waktu penjualan surat berharga.
     Harga perolehan saham yang dibebankan pada waktu penjualan sedapat-dapatnya ditentukan dengan cara identifikasi khusus, yaitu cara yang membebankan harga perolehan sesuai dengan fisiknya. Jadi, kalau yang dijual itu saham pembelian pertama maka harga perolehan yang dibebankan juga harga perolehan saham pembelian pertama tersebut. Apabila timbul kesulitan menyamakan arus harga perolehan dengan arus fisiknya maka harga perolehan yang dibebankan pada saat penjualan bisa ditentukan dengan cara masuk pertama keluar pertama (MPKP/FIFO), atau dengan cara rata-rata tertimbang (weighted average).[8]

D.    Ciri –Ciri Surat Berharga
Menurut H.M.N. Purwosutjipto, S.H., ciri khusus surat berharga itu adalah bersenyawanya hak menagih dengan akta yang merupakan tempatnya, karenanya surat berharga itu dapat menjadi benda perdagangan yang dapat diperjual belikan. Atas dasar-dasar alasan tersebut, maka pembentuk undang-undang menetapkan bentuk surat berharga yang disebut surat wesel, surat sanggup, surat cek, promes kepada pembawa, polis umum, konosemen, dan sebagainya. Ciri-ciri surat berharga sebagaimana yang dikutip Roedjiono, Pennington dan Hudson dalam bukunya Commercial banking law mengemukakan, sebagai berikut:
1.         Persyaratan dari dokumen tersebut harus tidak melarang dokumen tersebut diperalihkan;
2.         Mengandung suatu kewajiban membayar sejumlah uang;
3.         Perpindahan atas hak;
4.         Memiliki sumber peralihan.
Selanjutnya, menurut George Gleason Bogert sebagaimana dikutip oleh Rachmadi Usman dalam bukunya Introduction to Business law, memberikan ciri-ciri surat berharga sebagai berikut, Presumptive consideration dan negotiability.

BAB III
PENUTUP

Kesimpulan

Surat berharga adalah Surat yang mempunyai harga atau nilai. Yang fungsinya ialah sebagai :
a)      Sebagai alat pembayaran (alat ukur uang)
b)      Sebagai alat untuk memindahkan hak tagih (diperjual belikan dengan mudah atau sederhana)
c)        Sebagai surat bukti hak tagih (surat legitimasi)
Dalam pengertian  lain, Munir Fuady merumuskan bahwa surat-surat berharga (negotiable instrumen) adalah sebuah dokumen yang diterbitkan oleh penerbitnya sebagai suatu pemenuhan suatu prestasi berupa pembayaran sejumlah uang  sehingga berfungsi sebagai alat pembayaran yang didalamnya berisikan suatu perintah untuk membayar kepada pihak-pihak yang memegang surat tersebut.
Macam-macam atau Jenis-jenis surat ada banyak diantara ialah wesel, cek, surat sanggup, kuitansi atas tunjuk, promes atas tunjuk, Giro, dan Obligasi yang semuanya merupakan sebuah kertas (surat) yang mempunyai nilai/harga karena nominal yang tercantum dalam surat-surat tersebut.












DAFTAR PUSTAKA

Dunil Z, Kamus Istilah Perbankan Indonesia, Jakarta. : PT Gramedia Pustaka Utama, 2004.
Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Edisi Ketiga, 2007
Riyadi Selamet, Banking Assets and Liability Management, Jakarta : Lembaga

Browsing internet
http://pembaharuan-hukum.blogspot.com/

[1]Dunil Z, Kamus Istilah Perbankan Indonesia, (Jakarta. : PT Gramedia Pustaka Utama, 2004),  hal 36


[2]http://gioakram13.blogspot.com/2013/05/konsep-penilaian-surat-berharga_12.html
[3]Riyadi Selamet, Banking Assets and Liability Management, (Jakarta : Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Edisi Ketiga, 2007),  hal. 49
[4]http://sheputrii.blogspot.com/2012/09/pengertian-deposito.html
[5]Ibid. hal 52
[6]Dunil Z, Kamus Istilah Perbankan Indonesia, (Jakarta. : PT Gramedia Pustaka Utama, 2004) hal. 18. 
[7] http://pengertiandancontoh.blogspot.com/2013/03/pencatatan-surat-surat-berharga.html
[8]http://pembaharuan-hukum.blogspot.com/


Jumat, 23 Mei 2014

Pengantar Tata Hukum Indonesia

HUKUM PERBURUHAN

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas
Mata Kuliah : PENGANTAR TATA HUKUM INDONESIA
Dosen Pembimbing : Abdul Khair.MH.


Disusun Oleh
Norliyani Aulia
NIM    : 1302120220
Fitriyah Pramitasari
NIM    : 1302120253


SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI PALANGKARAYA
JURUSAN SYARI’AH  PRODI EKONOMI SYARI’AH

TAHUN 2014/ 1435 H


KATA PENGANTAR

Assalamualaikum wr.wb
Alhamdulillah puji syukur kami haturkan atas kehadirat Allah SWT, karena atas rahmat-Nya Kami dapat  menyelesaikan makalah kelompok mata kuliah Pengantar Tata Hukum Indonesia yang berjudul “Hukum Perburuhan“.
 Dalam penyelesaian makalah ini penulis banyak mendapatkan bantuan dan bimbingan dari beberapa pihak, untuk itu melalui kata pengantar ini penulis mengharapkan kritik  dan saran demi kesempurnaan makalah ini. Dan tidak pula penulis mengucapkan terima kasih kepada Dosen mata kuliah Pengantar Tata Hukum Indonesia
 Sebagai bantuan dan dorongan serta bimbingan yang telah diberikan kepada penulis dapat diterima dan menjadi amal sholeh dan diterima Allah sebagai sebuah kebaikan. Semoga makalah ini bermanfaat khususnya bagi penulis dan semua pembaca pada umumnya .
Wassalamualaikum wr.wb

Palangkaraya , Mei 2014


Tim Penulis
 







DAFTAR ISI
COVER
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I             PENDAHULUAN
a.         Latar Belakang.................................................................... 
b.        Rumusan Masalah............................................................... 
c.         Tujuan Penulisan................................................................. 
d.        Metode Penulisan................................................................ 
BAB II            PEMBAHASAN
a.         Pengertian hukum perburuhan ...........................................  
b.        Sumber-sumber hukum perburuhan ...................................  
c.         Hakikat dan sifat hukum perburuhan ................................. 
d.        Subjek dan hubungan kerja hukum perburuhan ................. 
e.         Perjanjian kerja dan perselisihan hukum Perburuhan .........  

DAFTAR PUSTAKA




BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Pembangunan nasional, khususnya bidang ketenagakerjaan diarahkan untuk sebesar-besarnya bagi kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat pekerja. Oleh karena itu hukum ketenagakerjaan harus dapat menjamin kepastian hukum, nilai keadilan, asas kemanfaatan, ketertiban, perlindungan dan penegakan hukum. Seiring dengan pembangunan bidang ketenagakerjaan, tampak maraknya para pelaku dunia usaha berbenah diri pasca krisis ekonomi dan moneter untuk bangun dari mimpi yang buruk, serta terpaan gelombang krisis ekonomi global yang melanda asia tenggara, di mana Indonesia tidak lepas dari terpaan gelombang tersebut. Pemerintah dalam upaya mengatasi krisis ekonomi global bersama dengan masyarakat, terutama para pelaku usaha, salah satu alasan pokok untuk menstabilkan perekonomian dan menjaga keseimbangan moneter serta menghindari kebangkrutan sebagian besar perusahaan yang berdampak terhadap sebagian besar nasib para pekerja pabrikan dan berujung pada pemutusan hubungan kerja.
Pemerintah selaku pembina, pengawas, dan penindakan hukum melaksanakan aturan hukum dengan hati-hati mengingat posisi pengusaha dan pekerja merupakan aset potensial bagi negara, sekaligus subyek pembangunan nasional yang berkedudukan sama dihadapan hukum. Aturan hukum sebagai pedoman tingkah laku wajib dipatuhi para pihak dan dengan penuh rasa tanggung-jawab. Kepatuhan bukan merupakan paksaan, melainkan budaya taat terhadap ketentuan hukum.
Pada dasarnya hukum ketenagakerjaan mempunyai sifat melindungi dan menciptakan rasa aman, tentram, dan sejahtera dengan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat. Hukum ketenagakerjaan dalam memberi perlindungan harus berdasarkan pada dua aspek, Pertama, hukum dalam perspektif ideal diwujudkan dalam peraturan perundang-undangan (heterotom) dan hukum yang bersifat otonom. Ranah hukum ini harus dapat mencerminkan produk hukum yang sesuai  cita-cita keadilan dan kebenaran, berkepastian, dan mempunyai nilai manfaat bagi para pihak dalam  proses produksi.
B.     Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian dari hukum perburuhan ?
2.      Apa saja sumber-sumber hukum perburuhan di Indonesia ?
3.      Apa saja hakikat dan sifat dari hukum perburuhan di Indonesia ?
4.      Apa saja subjek dan hubungan kerja didalam hukum perburuhan di indonesia ?
5.      Apa saja perjanjian kerja dan perselisihan hukum perburuhan di indonesia ?
C.     Tujuan Penulisan
Untuk mengetahui :
                                   1.       pengertian dari hukum perburuhan (ketenagakerjaan) di Indonesia.
                                   2.       Sumber-sumber hukum perburuhan di Indonesia  
                                   3.       Hakikat dan sifat di dalam hukum perburuhan di Indonesia .
                                   4.       Subjek dan hubungan kerja didalam hukum perburuhan di Indonesia.
                                   5.       Perjanjian kerja dan perselisihan hukum perburuhan di Indonesia

D.    Metode Penelitian
Adapun metode yang digunakan dalam makalah ini adalah:
                                 1.         Metode Kepustakaan
                                 2.         Metode Telusur Internet





BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Hukum Perburuan
Hukum perburuhan atau ketenagakerjaan (Labour Law) adalah  bagian dari hukum berkenaan dengan pengaturan hubungan perburuhan baik bersifat perseorangan  maupun  kolektif.  Secara tradisional, hukum perburuhan terfokus pada mereka (buruh) yang melakukan pekerjaan dalam suatu hubungan subordinatif (dengan pengusaha/majikan). Disiplin hukum ini mencakup persoalan-persoalan seperti  pengaturan  hukum  atau  kesepakatan  kerja,  hak  dan  kewajiban bertimbal-balik dari buruh/pekerja dan majikan,  penetapan upah, jaminan kerja, kesehatan dan keamanan  kerja dalam  lingkungan  kerja, non-diskriminasi,  kesepakatan kerja bersama/kolektif, peran-serta pekerja, hak mogok, jaminan pendapatan/penghasilan dan penyelenggaraan  jaminan kesejahteraan bagi pekerja dan keluarga mereka.[1] Dalam kepustakaan internasional, galibnya kajian Hukum Perburuhan terbagi ke dalam tiga bagian:
                                 1.         Hukum Hubungan Kerja Individual (Individual Employment Law);
                                 2.         Hukum Perburuhan Kolektif/perihal (Collective Labour Law);
                                 3.         Hukum Jaminan Sosial (Social Security Law), sejauh terkait dengan pokok-pokok bahasan di atas.
Menurut Molenaar berpendapat hukum perburuhan ialah suatu bagian dari hukum yang berlaku pada pokoknya mengatur hubungan antara buruh dan majikan dan antara buruh dengan buruh dan antara buruh dengan pengusaha. Sedangkan menurut Profesor Mochtar kusumaatmadja, fungsi hukum itu adalah sebagai sarana pembaharuan masyarakat. Dalam rangka pembangunan, yang dimaksud  dengan  saran pembaharuan  itu adalah sebagai  penyalur  arah  kegiatan manusia ke arah yang diharapkan oleh pembangunan.[2] Sebagaimana halnya dengan hukum yang  lain, hukum ketenagakerjaan mempunyai fungsi sebagai sarana pembaharuan  masyarakat yang menyalurkan arah kegiatan manusia kearah yang  sesuai  dengan  apa  yang dikehendaki oleh pembangunan ketenagakerjaan. Pembangunan  ketenagakerjaan  sebagai salah  satu  upaya dalam  mewujudkan  pembangunan nasional diarahkan  untuk mengatur, membina dan mengawasi segala kegiatan yang berhubungan dengan tenaga  kerja sehingga dapat terpelihara adanya ketertiban  untuk mencapai keadilan. Pengaturan, pembinaan, dan  pengawasan yang dilakukan berdasarkan perundang-undangan yang berlaku di bidang  ketenagakerjaan itu harus memadai dan sesuai dengan laju perkembangan pembangunan yang semakin pesat sehingga dapat mengantisipasi tuntutan perencanaan tenaga kerja, pembinaan  hubungan industrial dan peningkatan perlindungan tenaga kerja.[3]
Tujuan dari hukum perburuhan (ketenagakerjaan)  itu sendiri  ialah  sebagai berikut :
a.       Memberdayakan dan mendaya gunakan tenaga kerja secara optimal dan manusiawi.
b.      Mewujudkan pemerataan kesempatan kerja dan penyediaan tenaga kerja yang sesuai dengan kebutuhan pembangunan  nasional dan  daerah.   Memberikan perlindungan kepada tenaga kerja.
c.       Meningkatkan kesejahteraan tenaga kerja dan keluarganya.
B.     Sumber-sumber Hukum Perburuhan
Dalam hukum perburuhan Indonesia saat ini, sumber hukum terpenting dalam bentuk perundang-undangan ialah:
                       1.         Undang-undang Ketenagakerjaan
                       2.         Undang-undang tentang Serikat Pekerja/Buruh dan
                       3.         Undang-undang tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial.
Ketiga pilar di atas membentuk inti dari hukum perburuhan Indonesia
dan menjadi pokok bahasan pengantar ini. Kendati begitu perlu pula dicermati bahwa sumber-sumber hukum lainnya juga harus dirujuk dan berperan dalam penyelesaian perselisihan atau sengketa perburuhan
konkrit. Secara umum, sumber-sumber hukum yang terpenting ialah:
a.       Perjanjian-perjanjian internasional yang sudah diratifikasi oleh
b.      pemerintah Republik Indonesia
c.       Undang-undang Dasar 1945
d.      Perundang-undangan untuk hal-hal khusus
e.       Peraturan dan Keputusan Menteri
f.       Kesepakatan kerja bersama
g.      Presiden (putusan-putusan terdahulu dari pengadilan)
h.      Peraturan Kerja yang ditetapkan perusahaan
i.        Perjanjian kerja individual
j.        Instruksi oleh majikan/pemberi kerja
k.      Doktrin hukum[4]
C.     Hakikat dan Sifat Hukum Perburuhan
            Hukum ketenagakerjaan dapat bersifat perdata (privat) dan dapat bersifat public. Hukum perdata mengatur kepentingan orang perorang dimana mereka mengadakan suatu perjanjian yang disebut dengan perjanjian kerja. Sedangkan mengenai hukum Perjanjian sendiri terdapat/diatur di dalam kitab Undang-Undang Hukum Perdata Buku ke III.[5]
D.    Subjek dan Hubungan Kerja Hukum Perburuhan
Subjek hukum dalam hubungan kerja pada dasarnya adalah pengusaha/pemberi kerja dengan pekerja/buruh. Undang-undang No. 13 Tahun 2003 memberikan perbedaan pengertian pengusaha, perusahaan, dan pemberi kerja. Subjek hukum yang terkait dalam perjanjian kerja pada dasarnya adalah buruh dan majikan. Subjek hukum mengalami perluasan, yaitu dapat meliputi perkumpulan majikan, gabungan perkumpulan majikan atau APINDO untuk perluasan majikan. Selain itu terdapat serikat pekerja/buruh, gabungan serikat pekerja atau buruh sebagai perluasan dari buruh. Pembahasan mengenai hubungan industrial tidak dapat terlepas dari fungsi atau peran serikat pekerja/serikat buruh dalam rangka meningkatkan produktivitas dan kesejahteraan. Serikat pekerja atau buruh diatur oleh Undang-Undang No. 21 Tahun 2000 tentang serikat pekerja/serikat buruh. Munculnya Undang-Undang ini sebagai hasil reformasi dari hanya diakuinya satu serikat pekerja, SPSI. Setelah adanya Undang-Undang No. 21 Tahun 2000, serikat pekerja/buruh yang sudah terdaftar kurang lebih ada 60. Ini merupakan jumlah terbanyak bagi suatu negara yang mempunyai serikat pekerja/buruh lebih dari satu di seluruh dunia.
Berdasarkan ketentuan pasal 1 angka 3 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003, pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain.
Adapun pengusaha berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 5 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 adalah:
1.      Orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang menjalankan suatu perusahaan milik sendiri.
2.      Orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang secara berdiri sendiri menjalankan perusahaan bukan miliknya.
3.      Orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang berada di Indonesia mewakili perusahaan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan b yang berkedudukan diluar wilayah indonesia.
Batasan pengusaha berbeda dengan pemberi kerja. Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 4 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003, pemberi kerja adalah orang perseorangan, pengusaha, badan hukum, atau badan-badan lainnya yang mempekerjakan tenaga kerja dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain. Adapun perusahaan berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 6 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 adalah:
a.       Setiap bentuk usaha yang berbadan hukum atau tidak, milik orang perseorangan, milik persekutuan, atau milik badan hukum, baik milik swasta maupun milik negara yang mempekerjakan pekerja/buruh dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain.
b.      Usaha-usaha sosial dan usaha-usaha lain yang mempunyai pengurus dan mempekerjakan orang lain.[6]
E.     Perjanjian  Kerja, dan Perselisihan Hukum Perburuhan
Perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih lainnya”. Menurut Abdul Kadir Muhammad, S.H dalam buku nya yang berjudul Hukum Perikatan, antara lain disebutkan bahwa didalam suatu perjanjian termuat beberapa unsur, yaitu :[7]
1.      Ada pihak-pihak
Pihak-pihak yang ada disini paling sedikit harus ada dua orang.
2.      Ada persetujuan antara para pihak
Para pihak sebelum membuat perjanjian diberikan kebebasan untuk saling tawar menawar tanpa paksaan.
3.      Ada tujuan yang akan dicapai
Dalam mencapai satu atau beberapa tujuan tertentu, para pihak terikat bahwa tujuan tersebut tidak boleh bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum.
4.      Ada prestasi yang harus dilaksanakan
5.      Ada bentuk tertentu
Suatu perjanjian dapat dibuat secara lisan maupun tertulis, jika secara tertulis maka dibuat oleh pihak dihadapan seorang pejabat umum yang diberi wewenang untuk itu. Perjanjian Kerja yang dalam bahasa belanda biasa disebut Arbeidsovereenkoms, yang dapat diartikan dalam beberapa pengertian. pengertian pertama disebutkan dalam ketentuan pasal 1601 KHUP Perdata, mengenai perjanjian kerja disebutkan bahwa : “Perjanjian kerja adalah suatu perjanjian dimana pihak yang satu si buruh, mengikatkan dirinya untuk dibawah perintahnya pihak yang lain, si majikan untuk suatu waktu tertentu, melakukan pekerjaan dengan menerima upah ”. Selain itu pengertian mengenai perjanjian kerja ditengahkan oleh seorang pakar Hukum Perburuhan Indonesia yaitu, Bapak Prof .R. Iman Soepono, S.H. yang menerangkan bahwa perihal pengertian tentang perjanjian kerja, beliau mengemukakan bahwa : “Perjanjian kerja adalah suatu perjanjian dimana pihak kesatu , buruh, mengikatkan diri untuk bekerja dengan menerima upah pada pihak lainnya, majikan yang mengikatkan diri untuk mengerjakan buruh itu dengan membayar upah”. Selanjutnya perihal pengertian Perjanjian Kerja, ada lagi pendapat Prof Subekti, S.H. beliau menyatakan dalam bukunya Aneka Perjanjian, disebutkan bahwa perjanjian kerja adalah : “Perjanjian antara seorang “buruh” dengan seorang “majikan” perjanjian mana ditandai dengan ciri ciri ; adanya suatu upah atau gaji tertentu yang diperjanjikan dan adanya suatu hubungan diperatas yaitu suatu hubungan berdasarkan mana pihak yang satu (majikan) berhak memberikan perintah perintah yang harus di taati oleh pihak yang lain. Perihal perjanjian kerja Wiwoho Soedjono, S.H, mengemukakan  bahwa pengertian perjanjian kerja adalah hubungan antara seseorang yang bertindak sebagai pekerja atau buruh dengan seseorang yang bertindak sebagai majikan. Dengan adanya pengertian tentang perjanjian seperti ditentukan diatas, bisa diambil kesimpulan bahwa kedudukan antara para pihak yang mengadakan perjanjian adalah sama dan seimbang. Hal ini akan berlainan dengan pengertian perjanjian kerja.
Perselisihan perburuhan menurut perumusan UU tentang penyelesaian perburuhan adalah pertentangan antara majikan atau sekumpulan majkan dengan serikat buruh atau gabungan serikat buruh dikarenakan tidak adanya persesuaian paham mengenai hubungan kerja, syarat-syarat kerja atau keadan perburuhan (pasal 1 ayat UU no. 22 tahun 1957 tentang penyelesaian perselisihan perburuhan).
Sehubungan dengan perumusan itu maka mengenai perselisihan perburuhan dibedakan antara perselisihan hak (rechtsgescil) dan perselisihan kepentingan (belengengeschil). Dengan perselisihan hak dimaksudkan perselisihan yang timbul karena salah satu pihak pada perjanjian kerja atau perjanjian perburuhan tidak memenuhi isi perjanjian itu atau peraturan majikan ataupun menyalahi ketentuan hukum. Dengan demikian maka mengenai perselisihan hak di bidang perburuhan ada dua badan atau instansi yang berwenang menyelesaikannya, yaitu Pengadilan Negeri dan Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan. Tetapi pada waktu itu ada dua perbedaan yang pokok, yaitu :
1. Yang dapat menuntut di muka P4 hanyalah majikan dan organisasi buruh, tidak juga buruh perselisihan, sedangkan di muka Pengadilan Negeri buruh perseorangan dapat mengajukan tuntutannya.
2. Sanksi putusan Pengadilan Negeri adalah semata-mata sanksi perdata, sedang pihak yang tidak tunduk pada putusan Panitia Penyelenggara Perselisihan Perburuhan dapat pula dikenakan pidana kurungan selama-lamanya tiga bulan atau setinggi-tingginya sepuluh ribu rupaih.
Perselisihan kepentingan adalah mengenai usaha mengadakan perburuhan dalam syarat-syarat perburuhan yang oleh organisasi buruh dituntutkan kepada pihak majikan atau menurut perumusan di atas “pertentangan berhubungan dengan tidak adanya penyesuaian paham mengenai syarat-syarat kerja dan atau keadaan perburuhan”. Perselisihan kepentingan ini hanya dapat diajukan kepada P4, tidak lupa juga kepada Pengadilan Negeri.
Dari rumusan pengertian tersebut di atas juga memajukan bahwa UU No. 22/1957 hanya mengatur penyelesaian perselisihan antara serikat pekerja/buruh yang tidak menjadi anggota serikat pekerja/buruh dengan pengusaha/majikan tidak mendapat perlindungan dari UU No. 22/1957 tersebut. Di satu pihak ketentuan ini mengarahkan agar semua buruh menjadi anggota suatu serikat buruh sehingga menghindarkan tuntutan-tuntutan yang kurang beralasan bagi buruh-buruh perorangan, di lain pihak ini dapat merugikan pihak buruh mengingat di Indonesia ini buruh-buruhnya masih banyak yang belum berserikat minded. Untuk mengatasi hal ini maka diharapkan adanya suatu kebijaksanaan yang ini seharusnya ditampung dalam suatu ketentuan dalam UU (hukum acara) yang memberikan hak kepada buruh perorangan mengajukan tuntutan melalui saluran-saluran tertentu.[8]



[1]Mr. L.J.Van Apeldorn, Pengantar Ilmu Hukum, PT Pradnya Pramita; (Jakarta : 1996)
 hal 367
[2]Titik Triwulan Tutik S.H, M.H, Pengantar Prestasi, pustakarya(Jakarta : 2006) hal 207
[3]Http://situs-aku.blogspot.com/2012/01/makalah-tenaga-kerja.html
[4]Cristine S.T.Kansil, S.H., M.H, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia Jilid II, PT (Persero)penerbitan dan percetakan balai pustaka( Jakarta ; 2003) hal 145
[5]Ibid, hal 146
[6]Ibid, hal 147
[7]Hartono Hadisoeprapto, S.H, Pengantar tata hukum indonesia, Liberty Yogyakarta (Yogyakarta ; 1999) hal 187
[8]http://social-pajak.blogspot.com/2008/04/penyelesaian-perselisihan-perburuhan.html

DAFTAR PUSTAKA
Buku
Cristine S.T.Kansil, S.H., M.H, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia Jilid II, jakarta: PT (Persero) penerbitan dan percetakan balai pustaka, 2003
Hartono Hadisoeprapto, S.H, Pengantar tata hukum indonesia, Yogyakarta: Liberty Yogyakarta,1999
Mr. L.J.Van Apeldorn, Pengantar Ilmu Hukum, jakarta: PT Pradnya Pramita, 1996
Triwulan Tutik S.H, M.H, Pengantar Prestasi, Jakarta: pustakarya, 2006

Browsing Internet
Http://situs-aku.blogspot.com/2012/01/makalah-tenaga-kerja.html (Diunduh tanggal 10 april 2014. Pukul 16:52)